Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Salahkah Berinvestasi pada "Pertemanan?"

25 Juli 2017   09:54 Diperbarui: 25 Juli 2017   18:22 2912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak beberapa hari yang lalu, saya asyik mencari informasi tentang investasi. Dari situ, saya "memperdalam" wawasan seputar instrumen investasi yang banyak dipakai. Sebut saja investasi berupa logam mulia, yang tetap menjadi "primadona" sehingga banyak diburu oleh masyarakat.

Jika dibandingkan dengan alat investasi lainnya, seperti tanah dan bisnis, harga emas lebih terjangkau dan nilainya pun cenderung stabil. Selain itu, apabila pemiliknya membutuhkan dana cepat, emas lebih mudah diuangkan. Makanya, emas masih terasa menggiurkan dan menggoda minat investasi masyarakat.

Namun demikian, di antara sekian banyak artikel yang saya liput, investasi berupa "pertemanan" jarang sekali disebut. Bahkan, dalam buku-buku finansial, seperti Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki, hal itu malah tak disinggung sama sekali. Dari situ kemudian "berkecamuk" sebuah pertanyaan di dalam kepala saya: "Apakah pertemanan itu bukan instrumen investasi yang menguntungkan sehingga banyak orang yang mengabaikannya?"

Untuk menjawabnya, saya berpikir keras dan pikiran saya pun tiba-tiba saja "terpental" ke beberapa pengalaman yang sudah dilalui. Pada masa lalu, seingat saya, saya sering memperoleh bantuan dari orang lain. Misalnya, sekitar tahun 2015, saya meminta seorang teman untuk menemani saya pergi ke daerah Jakarta Barat lantaran saya ingin membeli peralatan hidroponik.

Saya belum mengenal betul daerah itu dan akhirnya meminta bantuannya untuk mencari lokasi toko yang dituju. Karena sehari-hari bekerja di sekitar situ, dia menyanggupinya. Jadilah, kami pergi naik motor berboncengan.

Setelah menyelesaikan semua urusan, dalam perjalanan pulang, kami kemudian mampir ke sebuah outlet penjual bakso. Atas budi baiknya, saya berniat mentraktirnya makan. Awalnya, dia sempat menolak lantaran merasa sungkan.

Namun, lantaran saya terus memaksa, akhirnya dia bersedia. Jadilah, saya membayar semua tagihan makannya pada saat itu. Seingat saya, harganya tak terlalu mahal. Berdua kami hanya membayar sekitar tujuh puluh ribuan.

Setelah kejadian itu, kami berpisah dan melanjutkan kegiatan masing-masing. Hingga, pada akhir tahun 2016 kemarin, saya kembali mengajaknya ke sebuah mall di Bekasi untuk melihat pameran teknologi. Lantaran punya waktu luang, dia pun bersedia.

Kami menghabiskan waktu sekitar tiga jam di situ, dari melihat pelbagai teknologi pertanian yang dipamerkan hingga menyantap makan Jepang di sebuah restoran. Nah, uniknya, setelah puas menikmati makanan Jepang yang enak, sewaktu akan membayar, teman saya langsung berkata ingin mentraktir saya.

Namun, lantaran kurang enak hati, saya kukuh menolaknya. Sampai, kemudian teman saya berkata, "Kan waktu itu gue juga sempet lu bayarin?" Sesaat saya teringat cerita di atas. Dalam hati, saya berkata bahwa ternyata dia masih mengingatnya walaupun kejadiannya hampir dua tahun berlalu!

Walaupun kebaikan hati mustahil diukur dengan uang, kalau dicermati, saya merasa mendapat untung dari situ. Buktinya, dia bersedia membayar semua biaya makan saya, yang jelas-jelas lebih mahal daripada ketika saya mentraktirnya makan tempo hari.

Itu baru satu peristiwa. Belum lagi, ada peristiwa lainnya, seperti datangnya tawaran pekerjaan dari seorang teman. Jujur saya tak minta pekerjaan apapun dari teman saya. Namun, sekitar seminggu yang lalu, tiba-tiba saja, ada seorang teman yang menawari saya sebuah proyek untuk mengedit naskah.

Aneh? Saya juga merasa demikian. Namun, pastilah ada suatu "sebab" pada masa lalu yang mengakibatkannya. Apa sebabnya? Entahlah.

Jika becermin dari pengalaman itu, masihkah kita menganggap bahwa pertemanan itu bukanlah instrumen investasi yang menguntungkan? Saya rasa kita perlu memikirkannya lagi.

Namun demikian, saya masih saja merasa penasaran. Mengapa kita merasa "berutang budi" atas kebaikan orang lain terhadap kita sehingga ingin membalasnya suatu saat nanti, seperti yang dilakukan oleh teman saya? Satu jawaban yang bisa menjelaskannya ialah bahwa sebagai makhluk sosial, kita dipengaruhi oleh "prinsip timbal balik".

Prinsip itu sebetulnya dipopulerkan oleh Robert Cialdini, seorang psikolog sosial yang populer. Lewat serangkaian kajian ilmiah dan data-data yang tersebar di lapangan, dia menyimpulkan bahwa sejak zaman dulu, manusia telah terikat oleh "prinsip timbal balik". Semua itu terjadi lantaran manusia merasa harus membalas perbuatan apapun yang dilakukan orang lain terhadap dirinya.

Makanya, saat seseorang membantu atau memberi kita sesuatu yang berharga, kita sering "dihantui" perasaan utang budi. Namun demikian, apakah semua orang yang kita beri bantuan sudah pasti akan membalas kebaikan hati kita? Belum tentu. Ada banyak orang di luar sana yang selalu mengharapkan pemberian dari orang lain, tapi ogah memberi kembali. Pada akhirnya orang-orang seperti itu akan "terpental" dari kelompok dan merana hidup sendirian.

Makanya, kalau ingin berinvestasi pada pertemanan, lebih baik kita memikirkannya dengan saksama. Pilihlah teman yang sesuai dan cocok dengan diri kita. Jangan sampai kita mendapat kerugian akibat salah memilih teman.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun