Itu baru satu peristiwa. Belum lagi, ada peristiwa lainnya, seperti datangnya tawaran pekerjaan dari seorang teman. Jujur saya tak minta pekerjaan apapun dari teman saya. Namun, sekitar seminggu yang lalu, tiba-tiba saja, ada seorang teman yang menawari saya sebuah proyek untuk mengedit naskah.
Aneh? Saya juga merasa demikian. Namun, pastilah ada suatu "sebab" pada masa lalu yang mengakibatkannya. Apa sebabnya? Entahlah.
Jika becermin dari pengalaman itu, masihkah kita menganggap bahwa pertemanan itu bukanlah instrumen investasi yang menguntungkan? Saya rasa kita perlu memikirkannya lagi.
Namun demikian, saya masih saja merasa penasaran. Mengapa kita merasa "berutang budi" atas kebaikan orang lain terhadap kita sehingga ingin membalasnya suatu saat nanti, seperti yang dilakukan oleh teman saya? Satu jawaban yang bisa menjelaskannya ialah bahwa sebagai makhluk sosial, kita dipengaruhi oleh "prinsip timbal balik".
Prinsip itu sebetulnya dipopulerkan oleh Robert Cialdini, seorang psikolog sosial yang populer. Lewat serangkaian kajian ilmiah dan data-data yang tersebar di lapangan, dia menyimpulkan bahwa sejak zaman dulu, manusia telah terikat oleh "prinsip timbal balik". Semua itu terjadi lantaran manusia merasa harus membalas perbuatan apapun yang dilakukan orang lain terhadap dirinya.
Makanya, saat seseorang membantu atau memberi kita sesuatu yang berharga, kita sering "dihantui" perasaan utang budi. Namun demikian, apakah semua orang yang kita beri bantuan sudah pasti akan membalas kebaikan hati kita? Belum tentu. Ada banyak orang di luar sana yang selalu mengharapkan pemberian dari orang lain, tapi ogah memberi kembali. Pada akhirnya orang-orang seperti itu akan "terpental" dari kelompok dan merana hidup sendirian.
Makanya, kalau ingin berinvestasi pada pertemanan, lebih baik kita memikirkannya dengan saksama. Pilihlah teman yang sesuai dan cocok dengan diri kita. Jangan sampai kita mendapat kerugian akibat salah memilih teman.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa