Selain itu, ada pula kasus “kawin kontrak” yang terjadi antara WNA dan WNI. Saya enggak tahu apakah kasus tersebut masih terjadi atau sudah dihentikan saat ini. Namun, yang jelas, perkawinan tersebut berisiko menciptakan dampak negatif di masyarakat karena praktiknya cenderung menyerupai “prostitusi”.
Belum lagi, kasus pernikahan yang terjadi karena adanya “kecelakaan”. Pernikahan itu biasanya terjadi di kalangan remaja yang “kebablasan” berpacaran. Makanya, pernikahan demikian terkesan dipaksakan untuk menutupi aib keluarga.
Semua itu adalah contoh kasus “menikah diam-diam” yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun contoh-contoh di atas terkesan negatif, bukan berarti kita bebas “pukul rata” terhadap semua kasus pernikahan demikian.
Sebab, masih ada juga orang yang menikah diam-diam hanya untuk melindungi privasinya, seperti sejumlah artis yang sengaja menikah sembunyi-sembunyi supaya enggak dieksploitasi awak media.
Sekali lagi itu soal pilihan. Jadi, dari uraian di atas, Anda memilih model menikah yang mana? Yang “diam-diam menikah” ataukah yang “menikah diam-diam”?
Salam.
Adica Wirawan, Founder Gerairasa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H