Dalam sebuah kesempatan, teman saya yang bekerja sebagai staf marketing di sebuah perusahaan distributor makanan “mencurahkan” keluh-kesahnya tentang perilaku atasannya. Menurutnya, atasannya sering mematok target penjualan yang terlalu tinggi sehingga hal itu sangat membebani karyawan.
Misalnya saja, atasannya menargetkan bahwa dalam sehari, teman saya harus mendapat orderan sepuluh juta rupiah dari sejumlah toko. Baginya, target itu terasa “tidak masuk akal” lantaran kenyataannya toko-toko yang didatanginya paling banter memesan barang yang harganya hanya beberapa ratus ribu, bukannya jutaan rupiah.
“Bahkan, ada toko yang cuma pesen lima puluh ribu saja,” tuturnya. Makanya, dalam sehari, paling banyak ia mendapat orderan sebesar tiga juta rupiah, yang tentu saja sangat jauh dari target yang sudah ditetapkan atasannya.
Hal itu tentu saja menempatkannya dalam posisi “terjepit”. Jika gagal mencapai target, ia dan teman-temannya bakal “disemprot” habis-habisan oleh atasan, hingga terancam kehilangan pekerjaan.
Sementara itu, di lapangan, ia harus menghadapi “kenyataan pahit” bahwa pasar memang sedang sepi dan hal itu menyebabkan penjualan seret. Jadi, sekeras apapun ia berusaha menjual, pemilik toko akan terus menolak lantaran memang produknya masih belum laku terjual.
“Kemelut” itu kemudian menciptakan konflik batin di dalam diri teman saya. Situasi menjadi serba salah untuk perusahaan, untuk pemilik toko, dan terutama untuk dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun mengaku pasrah atas peristiwa yang terjadi, seraya berharap adanya perubahan yang lebih baik pada waktu yang akan datang.
Persoalan yang dihadapi teman saya mungkin juga dialami oleh orang lain, terutama mereka-mereka yang berkecipung di dunia marketing. Sebagai “ujung tombak” perusahaan, staf marketing berada di garda terdepan sewaktu berhubungan dengan pelanggan dan calon pelanggan.
Lantaran perannya yang penting, tak sedikit perusahaan yang menggelontorkan banyak dana untuk “menyekolahkan” staf marketingnya di seminar-seminar penjualan. Semua itu dilakukan supaya karyawan tersebut mengetahui “jurus-jurus” terampuh dalam menjual produk perusahaan, serta meningkatkan keterampilan dalam mengatasi keberatan calon pelanggan.
Hal itu sah-sah saja dilakukan, asalkan materi yang diajarkan menunjukkan cara berjualan yang jujur dan etis. Jangan sampai pelajaran yang disampaikan justru menjelaskan trik berjualan yang sifatnya mengelabui pelanggan alias “tipu-tipu”.
Memang trik semacam itu akan meningkatkan penjualan dalam waktu singkat. Pesanan datang bertubi-tubi dari pelanggan yang berhasil diperdaya. Namun, jika suatu saat nanti “kedok”-nya sudah tersingkap, pelanggan akan kecewa berat. Pada saat itulah bisnis perusahaan tersebut “habis”.
Kembali ke soal atasan yang sering mematok target tinggi. Setelah membekali staf marketingnya dengan sejumlah taktik penjualan, manajemen perusahaan kemudian akan memasang target penjualan tertentu. Para staf marketing pun berkewajiban memenuhi target yang sudah ditetapkan. Bahkan, kalau bisa, mereka melampaui target tersebut.
Lantas, mengapa sejumlah perusahaan merasa perlu menetapkan target penjualan yang tinggi? Karena hal itu “dianggap” bisa mendongkrak motivasi kerja staf marketingnya. Logikanya, semakin tinggi sebuah target suatu perusahaan, tentu akan semakin semangat pula para karyawan untuk mewujudkannya.
Sayangnya, yang terjadi di “lapangan” justru sebaliknya. Para staf merketing kerap mendapat “tekanan batin” untuk mewujudkan tujuan tersebut, seperti yang dialami teman saya. Sejumlah staf bahkan tampak ogah-ogahan bekerja, dan kalaupun bekerja, mereka melakukannya ala kadarnya saja.
Mengapa hal itu dapat terjadi? Karena mereka hanya menjalankan tujuan atasan, bukannya tujuan mereka sendiri. Makanya, mereka merasa tak memiliki tujuan itu, sehingga apapun kondisi yang dialami perusahaan, untung atau rugi, mereka cuek. Semua itu terjadi lantaran rasa kepemilikan perusahaan yang rendah di kalangan karyawan.
Makanya, saran saya, alih-alih “menghamburkan” uang untuk biaya pelatihan karyawan yang mahal, lebih baik manajemen perusahaan berfokus memikirkan bagaimana caranya karyawan punya perasaan “memiliki” perusahaan itu.
Bukan hal mudah memang untuk mewujudkan hal itu. Namun, sejumlah perusahaan, seperti Apple, berhasil membangun kultur kepemilikan yang kuat di antara para karyawannya.
Belum lagi, target semacam itu sering diputuskan tanpa mempertimbangkan hasil penjualan sebelumnya. Makanya, target seperti itu terkesan tidak realistis lantaran hanya asal ditetapkan tanpa menengok statistik penjualan yang terjadi.
Akan jauh lebih baik kalau perusahaan memasang “target terdekat” dengan hasil penjualan yang ada. Misalnya, jika bulan lalu, perusahaan berhasil menjual 1.000 produk, manajemen bisa mematok target penjualan 1.100 produk pada bulan ini.
Peningkatannya memang terbilang kecil, tetapi besar kemungkinan target itu lebih “gampang” dicapai, alih-alih perusahaan mematok target 1.500 atau bahkan 2.000 produk yang harus dijual.
Lagipula, jika perusahaan bisa sukses mencapai target kecil tersebut, tentu akan tumbuh “kepercayaan diri” di antara para karyawan untuk meraih target yang lebih besar ke depannya.
Sistem kejar target yang diterapkan perusahaan ibarat “pedang bermata dua”. Di satu pihak, sistem tersebut membikin kinerja karyawan lebih fokus, lebih terukur, dan lebih jelas. Namun, di pihak lain, sistem itu dapat menciptakan depresi hebat apabila target yang dipasang tak “menjejak bumi”.
Jadi, sudah sepatutnya pihak perusahaan mempertimbangkan kembali sistem target tersebut demi kelancaran bisnis yang dijalankan dan kenyamanan karyawan dalam bekerja. Setuju?
Salam.
Adica Wirawan, Founder Gerairasa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H