Lantas, mengapa sejumlah perusahaan merasa perlu menetapkan target penjualan yang tinggi? Karena hal itu “dianggap” bisa mendongkrak motivasi kerja staf marketingnya. Logikanya, semakin tinggi sebuah target suatu perusahaan, tentu akan semakin semangat pula para karyawan untuk mewujudkannya.
Sayangnya, yang terjadi di “lapangan” justru sebaliknya. Para staf merketing kerap mendapat “tekanan batin” untuk mewujudkan tujuan tersebut, seperti yang dialami teman saya. Sejumlah staf bahkan tampak ogah-ogahan bekerja, dan kalaupun bekerja, mereka melakukannya ala kadarnya saja.
Mengapa hal itu dapat terjadi? Karena mereka hanya menjalankan tujuan atasan, bukannya tujuan mereka sendiri. Makanya, mereka merasa tak memiliki tujuan itu, sehingga apapun kondisi yang dialami perusahaan, untung atau rugi, mereka cuek. Semua itu terjadi lantaran rasa kepemilikan perusahaan yang rendah di kalangan karyawan.
Makanya, saran saya, alih-alih “menghamburkan” uang untuk biaya pelatihan karyawan yang mahal, lebih baik manajemen perusahaan berfokus memikirkan bagaimana caranya karyawan punya perasaan “memiliki” perusahaan itu.
Bukan hal mudah memang untuk mewujudkan hal itu. Namun, sejumlah perusahaan, seperti Apple, berhasil membangun kultur kepemilikan yang kuat di antara para karyawannya.
Belum lagi, target semacam itu sering diputuskan tanpa mempertimbangkan hasil penjualan sebelumnya. Makanya, target seperti itu terkesan tidak realistis lantaran hanya asal ditetapkan tanpa menengok statistik penjualan yang terjadi.
Akan jauh lebih baik kalau perusahaan memasang “target terdekat” dengan hasil penjualan yang ada. Misalnya, jika bulan lalu, perusahaan berhasil menjual 1.000 produk, manajemen bisa mematok target penjualan 1.100 produk pada bulan ini.
Peningkatannya memang terbilang kecil, tetapi besar kemungkinan target itu lebih “gampang” dicapai, alih-alih perusahaan mematok target 1.500 atau bahkan 2.000 produk yang harus dijual.
Lagipula, jika perusahaan bisa sukses mencapai target kecil tersebut, tentu akan tumbuh “kepercayaan diri” di antara para karyawan untuk meraih target yang lebih besar ke depannya.
Sistem kejar target yang diterapkan perusahaan ibarat “pedang bermata dua”. Di satu pihak, sistem tersebut membikin kinerja karyawan lebih fokus, lebih terukur, dan lebih jelas. Namun, di pihak lain, sistem itu dapat menciptakan depresi hebat apabila target yang dipasang tak “menjejak bumi”.
Jadi, sudah sepatutnya pihak perusahaan mempertimbangkan kembali sistem target tersebut demi kelancaran bisnis yang dijalankan dan kenyamanan karyawan dalam bekerja. Setuju?