Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Membunuh" Karyawan Marketing dengan Memasang Target Penjualan yang Terlampau Tinggi

11 April 2017   07:17 Diperbarui: 11 April 2017   07:28 6720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah kesempatan, teman saya yang bekerja sebagai staf marketing di sebuah perusahaan distributor makanan “mencurahkan” keluh-kesahnya tentang perilaku atasannya. Menurutnya, atasannya sering mematok target penjualan yang terlalu tinggi sehingga hal itu sangat membebani karyawan.

Misalnya saja, atasannya menargetkan bahwa dalam sehari, teman saya harus mendapat orderan sepuluh juta rupiah dari sejumlah toko. Baginya, target itu terasa “tidak masuk akal” lantaran kenyataannya toko-toko yang didatanginya paling banter memesan barang yang harganya hanya beberapa ratus ribu, bukannya jutaan rupiah.

“Bahkan, ada toko yang cuma pesen lima puluh ribu saja,” tuturnya. Makanya, dalam sehari, paling banyak ia mendapat orderan sebesar tiga juta rupiah, yang tentu saja sangat jauh dari target yang sudah ditetapkan atasannya.

Hal itu tentu saja menempatkannya dalam posisi “terjepit”. Jika gagal mencapai target, ia dan teman-temannya bakal “disemprot” habis-habisan oleh atasan, hingga terancam kehilangan pekerjaan.

Sementara itu, di lapangan, ia harus menghadapi “kenyataan pahit” bahwa pasar memang sedang sepi dan hal itu menyebabkan penjualan seret. Jadi, sekeras apapun ia berusaha menjual, pemilik toko akan terus menolak lantaran memang produknya masih belum laku terjual.

“Kemelut” itu kemudian menciptakan konflik batin di dalam diri teman saya. Situasi menjadi serba salah untuk perusahaan, untuk pemilik toko, dan terutama untuk dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun mengaku pasrah atas peristiwa yang terjadi, seraya berharap adanya perubahan yang lebih baik pada waktu yang akan datang.

Persoalan yang dihadapi teman saya mungkin juga dialami oleh orang lain, terutama mereka-mereka yang berkecipung di dunia marketing. Sebagai “ujung tombak” perusahaan, staf marketing berada di garda terdepan sewaktu berhubungan dengan pelanggan dan calon pelanggan.

Lantaran perannya yang penting, tak sedikit perusahaan yang menggelontorkan banyak dana untuk “menyekolahkan” staf marketingnya di seminar-seminar penjualan. Semua itu dilakukan supaya karyawan tersebut mengetahui “jurus-jurus” terampuh dalam menjual produk perusahaan, serta meningkatkan keterampilan dalam mengatasi keberatan calon pelanggan.

Hal itu sah-sah saja dilakukan, asalkan materi yang diajarkan menunjukkan cara berjualan yang jujur dan etis. Jangan sampai pelajaran yang disampaikan justru menjelaskan trik berjualan yang sifatnya mengelabui pelanggan alias “tipu-tipu”.

Memang trik semacam itu akan meningkatkan penjualan dalam waktu singkat. Pesanan datang bertubi-tubi dari pelanggan yang berhasil diperdaya. Namun, jika suatu saat nanti “kedok”-nya sudah tersingkap, pelanggan akan kecewa berat. Pada saat itulah bisnis perusahaan tersebut “habis”.

Kembali ke soal atasan yang sering mematok target tinggi. Setelah membekali staf marketingnya dengan sejumlah taktik penjualan, manajemen perusahaan kemudian akan memasang target penjualan tertentu. Para staf marketing pun berkewajiban memenuhi target yang sudah ditetapkan. Bahkan, kalau bisa, mereka melampaui target tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun