Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dikotomi "Box Office" di Jagad Perfilman Indonesia

30 Maret 2017   17:38 Diperbarui: 31 Maret 2017   04:00 1118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
film-film box office tanah air/ http://indonesiashow.biz

Perhelatan Indonesian Box Office Movie Awards atau IBOMA 2017 yang berlangsung pada tanggal 29 Maret 2017 menobatkan film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 sebagai film terlaris sepanjang masa.

Film yang mengangkat kembali kisah trio komedian legendaris Indonesia itu berhak menyabet penghargaan tersebut setelah berhasil “menyedot” lebih dari 6 juta penonton sepanjang pemutarannya di bioskop-bioskop tanah air.

Pada ajang itu disebutkan pula sejumlah film, yang menyabet predikat box office sepanjang tahun 2016. Film-film itu di antaranya ialah Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1, Ada Apa Dengan Cinta 2, My Stupid Boss, Hangout, Rudy Habibie (Habibie & Ainun 2), Koala Kumal, Comic 8: Casino Kings Part 2, I Love You From 38.000 Feet, Cek Toko Sebelah, dan London Love Story.

Film Cek Toko Sebelah terpilih menjadi film Box Office Terbaik dengan total jumlah penonton yang mencapai lebih dari 2,5 juta. Sebuah angka fantastis, yang bikin tercengang semua kru pembuatnya, termasuk Ernest Prakasa, yang kemudian juga menyabet gelar Penulis Skenario Terbaik pada ajang itu.

Acara yang mirip Academy Award versi Indonesia itu tentu menarik dibahas lantaran kita jadi lebih mengetahui jumlah penonton yang berhasil digaet oleh film-film di atas. Hal itu bisa menjadi sebuah “barometer” bagi semua insan perfilman, termasuk sutradara, untuk “membaca” selera pasar masyarakat terhadap film lokal.

Hanung Bramantyo, misalnya, pada sebuah kesempatan menuturkan bahwa ia membutuhkan sebuah patokan agar bisa menciptakan film yang disukai masyarakat indonesia. Salah satu caranya adalah lewat perhelatan seperti IBOMA.

"Jadi kalau saya bisa dapat data (jumlah penonton) maka saya jadi tahu harus membuat film seperti apa. IBOS itu penting untuk dijadikan parameter. Jadi, parameternya enggak sama film Indonesia melulu." lanjut sutradara yang telah mengarahkan 30-an judul film itu, seperti dikutip di situs kapanlagi.com.

Hanung mungkin satu di antara sekian sutradara yang bersuara positif terhadap acara seperti IBOMA. Baginya, acara itu tak akan “menelanjangi” isi dapur produksi, tetapi menjadi sebuah bahan koreksi atas karya yang dibuat.

Namun, suara itu ternyata mendapat sejumlah pertentangan, terutama dari pemerintah. Baru-baru ini, pemerintah menolak hibah Korea Selatan sebesar US$ 5,5 juta lewat Program Integrated Box Office System (IBOS).

Menurut Anggota Komisi X DPR dari F-PDIP, Sofyan Tan, rencana hibah tersebut berpotensi merendahkan harga diri bangsa Indonesia. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) harus mewaspadai motivasi Korea Selatan memberikan hibah tersebut. Sebab Korsel saat ini sedang gencargencarnya memasarkan industri perfilman mereka ke luar negeri.

“Kewaspadaan itu sangat penting. Sebab, jika langsung diterima, maka taruhannya sangatlah besar. Sebab, Indonesia harus membuka rahasia industri perfilmannya,” kata Sofyan dalam keterangan tertulisnya, sebagaimana dikutip di situs beritasatu.com.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah tentunya punya maksud baik. Pemerintah berupaya melindungi para insan perfilman indonesia dari “gempuran” film-film asing.

Makanya, selama ini, data penonton film di Indonesia tidak pernah dirilis terbuka. Sebab, jika hal itu dilakukan, seperti di Hollywood, minat penonton terhadap film indonesia akan berubah.

Misalnya, jika sebelumnya seseorang sangat antusias ingin menyaksikan film lokal, tetapi begitu mengetahui kalau filmnya kurang disambut pasar, antusiasme itu bisa padam, hingga akhirnya ia mengurungkan niatnya menonton film tersebut. Itulah yang ditakutkan oleh kru film, termasuk pemerintah.

Kalau hal demikian terus terjadi, industri perfilman tanah air bisa kembali “mati suri” seperti yang pernah terjadi pada era 80-an.

Namun demikian, hal itu kemudian menjadi sebuah “dikotomi” tersendiri dalam jagat perfilman nasional, yang sampai sekarang belum jelas arah perkembangannya. Di satu sisi, ajang seperti IBOMA dibutuhkan sebagai acuan para sineas. Di sisi lainnya, ajang tersebut ditakutkan dapat memengaruhi selera masyarakat terhadap film-film anak bangsa. Jadi, sikap mana yang mesti kita ambil?

Salam.

Adica Wirawan, Founder Gerairasa.com

Referensi:

  • “Daftar Lengkap Pemenang IBOMA 2017,” bintang.com, diakses pada tanggal 30 Maret 2017.
  • “Membandingkan Box Office Indonesia Vs Hollywood, AADC 2 vs X-men,” bintang.com, diakses pada tanggal 30 Maret 2017.
  • “DPR Tolak Hibah Korsel Melalui IBOS,” beritasatu.com, diakses pada tanggal 30 Maret 2017.
  • “Begini Respon Hanung Bramantyo Atas Sistem Box Office Indonesia,” kapanlagi.com, diakses pada tanggal 30 Maret 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun