Namun demikian, di sisi lain, keberadaan investor juga bisa menimbulkan masalah baru apalagi kalau terdapat perbedaan visi antara pendiri startup dan para investor. Alih-alih bekerja secara akur, bisa-bisa terjadi “saling sikut” di antara pemangku kepentingan tersebut.
Hal itu pernah terjadi pada startup lokal Valadoo. Valadoo adalah startup yang bergerak pada bisnis traveling, yang didirikan oleh Jaka Wiradisuria pada tahun 2010 silam.
Sebagai startup yang masih “hijau”, Valadoo termasuk beruntung lantaran pada tahun 2012, dua tahun setelah didirikan, Valadoo mendapat suntikan modal dari Wego dengan melakukan merger dengan Social Travel Burufly.
Rupanya itulah awal dari kejatuhan Valadoo. Biarpun banyak orang yang menilai bahwa Valadoo akan mampu bertahan lantaran mendapat investasi, nyatanya perusahaan itu ambruk juga, sehingga harus tutup pada tahun 2015.
Semua itu terjadi karena timbulnya perbedaan sistem, visi, dan kepentingan para “pejabat” di perusahaan tersebut.
Apa yang terjadi pada Valadoo tentu sangat disayangkan. Betapa tidak! Startup yang digadang-gadang bakal terus “bersinar” justru harus redup cahayanya, hanya dalam waktu lima tahun sejak didirikan.
Namun, itulah bisnis!
Tak ada seorangpun yang dapat memastikan sukses-tidaknya suatu bisnis. Walaupun demikian, kita tentu bisa belajar dari situ bahwa tak semua investor bisa mendatangkan dampak positif.
Jadi, bagi kita yang ingin atau sudah mempunyai startup, hal itu harus diperhatikan betul-betul. Jangan sampai kita tergoda oleh investasi besar tanpa mempertimbangkan “chemistry” antara pengelola startup dan investor.
“Chemistry” itu harus sudah terjalin sejak awal. Kedua pihak, pengelola startup dan investor, mesti menyamakan persepsi terlebih dulu agar terhindar dari mispersepsi pada kemudian hari.
Hal itulah yang terkadang sulit dilakukan, karena kedua pihak mempunyai fokus yang berbeda. Pengelola startup, yang didominasi oleh para milenial, misalnya, bisa saja lebih berfokus pada aspek layanan dan produk.