Maka, dengan fitur itu, Kompasiana mencoba berbagi profit dengan kompasianernya, sehingga kalau ada yang bertanya, “Nulis di Kompasiana dibayar ga?”, kita bisa menjawab, “Dibayar lho,” dan kemudian kita akan mendengar suara “ooooooooooooo” yang lebih panjang.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan “o” yang lebih personal sifatnya. Jujur saja pertemuan kemarin adalah acara Kompasiana yang baru pertama kali saya ikuti.
Tahun lalu sebetulnya saya ingin menghadiri acara Kompasianival di Smesco, tetapi karena saya ada acara penting di Serpong, niat itu kemudian batal. Jadi, baru kemarin, saya punya kesempatan bertatap muka dengan Kompasianer lainnya.
Sebelumnya saya lebih mengenal Kompasianer lainnya hanya lewat tulisan dan foto profil di akunnya tanpa pernah melihat, mendengar, atau mengobrol secara langsung. Namun, kemarin, saya berkesempatan berkenalan dengan sejumlah Kompasianer, seperti Mas Agung Han dan Mas Reno Dwiheryana, serta pengelola Kompasiana, seperti Pak Iskandar Zulkarnaen dan Pak Nurulloh.
Apa yang ditampilkan di tulisan dan foto seseorang ternyata bisa berbeda dengan realitanya. Dari situ kemudian saya mendapat sebuah pesan moral: “Jangan menilai orang dari foto atau tulisannya saja.”
Hehehe.
Pertemuan itu menjadi ajang silaturahmi antar Kompasianer dan pengelola Kompasiana. Sebagian besar yang hadir sudah saling mengenal sebelumnya, sehingga mereka bisa cipika-cipiki dan bercanda sebebasnya tanpa lagi jaim alias jaga imej.
Menurut saya, mereka adalah nyawa Kompasiana yang sesungguhnya. Jika situs dan perangkat lainnya diibaratkan sebagai jasmani, para Kompasianer itulah yang menjadi “ruh” yang menghidupkan Kompasiana.
Tanpa interaksi dari para kompasianernya, Kompasiana yang kini sudah beranggotakan 330.000 lebih itu bukanlah apa-apa. Maka, sewaktu melihat, mendengar, dan merasakan “kekeluargaan” yang kental pada acara kemarin, diam-diam, di dalam hati, saya bergumam kagum, “O, itu toh Kompasianer itu!”