Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Akankah Kamus Digital Menggantikan Kamus Konvensional?

9 Januari 2017   15:20 Diperbarui: 10 Januari 2017   01:54 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini, saudara saya meminta saya untuk membelikannya kamus bahasa Inggris tertentu, sebab guru bahasa Inggrisnya mewajibkannya untuk membawa kamus tersebut pada pertemuan berikutnya di kelas. Sewaktu ia mengirimkan foto kamus yang dimaksud, saya segera mengetahui bahwa kamus itu memang bagus dan lengkap karena sudah menjadi rujukan bagi siapapun yang ingin belajar bahasa Inggris. Harganya? Tentu saja mahal, untuk kalangan tertentu. Yang softcover saja bisa mencapai harga rp 100.000, sementara yang hardcover sebesar rp 130.000-an.

Oleh karena harganya yang “cukup” menguras kantong, saya pun memberi sebuah saran: “Mengapa kamu enggak pake google translate saja? Kan lebih praktis?” Kemudian ia menjawab bahwa gurunya mengharuskan memakai kamus itu sewaktu belajar di kelas, dan ia kukuh pada pilihannya.

Yang membikin saya termenung sejenak adalah bukan soal sikap guru bahasa Inggrisnya yang “mewajibkan” penggunaan kamus tertentu. Bagi saya, setiap guru yang menganjurkan demikian tentunya punya suatu pertimbangan. Semua itu pasti dilakukan demi memaksimalkan proses belajar di kelas.

Namun, yang membuat saya bertanya-tanya: “Masih perlukah siswa membawa kamus ke kelas? Bukankah sekarang sudah ada kamus digital yang memungkinkan setiap siswa mencari kata tertentu lewat smartphonenya? Jadi, buat apa lagi siswa membawa kamus yang berat itu ke sekolah?”

Sebagaimana diketahui, kemajuan teknologi pada saat ini sudah membikin kita lebih mudah mempelajari bahasa asing. Berbeda dengan beberapa dekade sebelumnya, yang mana sewaktu kita ingin menguasai bahasa asing tertentu, kita harus berkutat dengan kamus yang tebal, menghafal pelbagai struktur bahasa, dan mengingat sejumlah kosakata, kini semua cara belajar seperti itu sudah mudah ditinggalkan.

Sebab, kini kita mampu memanfaatkan sejumlah layanan belajar bahasa asing di internet. Enggak cuma bisa mengakses kamus digital, kita juga sudah bisa memakai jasa tutor bahasa Inggris via online untuk melatih kemampuan berbicara kita. Maka, pada saat ini, belajar bahasa asing itu boleh dibilang cukup mudah, murah, dan meriah.

Apalagi sekarang sejumlah perusahaan teknologi tengah mengembangkan berbagai model kecerdasan artifisial alias artificial inteligence. Sebut saja aplikasi google translate, yang sudah memakai teknologi kecerdasan buatan. Hanya dengan mengaktifkan fitur suara pada aplikasi tersebut, kita hanya perlu “berbicara” di dekat smartphone, dan sim sala bim… kata-kata yang kita ucapkan langsung terekam dan tertulis di smartphone tersebut. Kita pun sudah bisa segera menemukan makna kata yang dicari beserta cara pelafalannya.

sumbe: techpp.com
sumbe: techpp.com
Semua itu bisa terjadi berkat perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang berlangsung beberapa tahun belakangan. Pada waktu itu, sejumlah perusahaan teknologi memang sedang berlomba menciptakan aplikasi yang memanfaatkan kecerdasan buatan. Sebut saja Apple, yang memperkenalkan Siri pada tahun 2011.

Siri adalah teknologi kecerdasan buatan, yang terhubung langsung dengan produk Apple. Siri memungkinkan setiap penggunanya untuk memberi perintah secara lisan tanpa harus repot-repot mengetik di layar.

Kehadiran Siri mendapat sambutan hangat masyarakat, terutama pengguna produk Apple, karena Siri dinilai memiliki nuansa personal yang kuat. Sewaktu memakai Siri, kita seolah sedang “berkomunikasi” dengan makhluk hidup. Padahal, sesungguhnya siri hanyalah sebuah sistem tersusun atas algoritma yang rumit.

Perusahaan teknologi lainnya kemudian memperkenalkan model kecerdasan buatan karyanya sendiri. Sebut saja Amazon dengan Amazon Echo-nya, dan Microsoft dengan Microsoft Speech Recognation-nya. Semua teknologi itu memiliki tujuan yang sama: “Mengenali pola ujaran pengguna, dan kemudian mengakses fitur yang diinginkan sesuai dengan ujaran tersebut.”

Teknologi itu tentunya akan memengaruhi sejumlah bidang, termasuk bahasa. Seperti sudah disebutkan di atas, teknologi itu dapat membantu kita belajar suatu bahasa tanpa dibatasi lagi oleh waktu dan tempat. Asalkan sudah terhubungan dengan internet, kita dapat memilih layanan belajar bahasa apapun yang tersedia di internet.

Jadi, sebetulnya, kalau teknologi itu diterapkan secara luas, terutama di sekolah-sekolah, siswa enggak perlu lagi membawa kamus. Keberadaan kamus dapat digantikan dengan aplikasi kamus digital yang jauh lebih praktis. Selain itu, teknologi kecerdasan buatan yang menjadi tulang punggung aplikasi tersebut tentunya bisa membantu proses belajar bahasa di kelas. Siswa akan lebih mudah mempelajari kata baru, melafalkan kalimat secara tepat, dan memahami pola bahasa yang digunakan.

Namun, sayangnya, teknologi itu masih terbatas pada pola percakapan sederhana saja. Keterbatasan lainnya timbul karena sifat bahasa yang dinamis. Bahasa senantiasa berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman. Jadi, untuk menciptakan teknologi yang sempurna, kita harus selalu memperbaharuinya sesuai situasi terkini.

Salam

Adica Wirawan, founder gerairasa.com

Referensi:

“FINDING A VOICE”, economist.com, diakses pada tanggal 9 Januari 2017.

“Why Google, Microsoft and Amazon Love the Sound of Your Voice”, bloomberg.com, diakses pada tanggal 9 Januari 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun