Sesuai dengan namanya, semua transaksi yang terjadi di kantin kejujuran bersifat terbuka. Setiap orang bebas mengambil barang apapun asalkan ia jujur membayarnya sesuai dengan harga yang tertera di situ.
Kantin kejujuran biasanya banyak terdapat di sekolah-sekolah. Kantin kejujuran menjadi media edukasi yang tepat untuk mengajarkan siswa soal kejujuran. Oleh sebab itu, kantin kejujuran enggak berorientasi mencari untung, seperti Amazon Go.
Maka, enggak heran kalau pengelola kantin kejujuran sering “nombok” lantaran uang hasil penjualan enggak sesuai dengan barang yang telah diambil. Bahkan, dalam sejumlah kasus, banyak siswa yang berutang sewaktu membeli barang di kantin kejujuran. Hal itu tentunya berpengaruh besar terhadap arus kas, dan kalau terus terjadi demikian, bisa-bisa kantin kejujuran bangkrut dan tutup.
Sebagai unit usaha, pengelola Amazon Go tentu sudah mempertimbangkan supaya hal semacam itu jangan sampai terjadi. Makanya, pengelola merancang sistem sedemikian rupa sehingga setiap ada transaksi, bon akan langsung dikirim ke akun milik pembeli tersebut. Hal itu tentunya membikin bisnis Amazon Go bisa lebih “berkelanjutan”, daripada kantin kejujuran, yang banyak berguguran lantaran sering “dihajar” utang.
Kemudian, semua transaksi di kantin kejujuran masih bersifat manual. Pembeli yang mengambil barang harus mencatatnya terlebih dulu di buku. Hal itu bertujuan supaya pengelola mengetahui barang mana saja yang sudah laku terjual dan berapa jumlah uang yang diperoleh.
Biarpun lebih “modern” daripada kantin kejujuran, kehadiran Amazon Go masih menimbulkan tanda tanya, terutama soal budaya. Sebagaimana diketahui, masyarakat Amerika belum terbiasa dengan model belanja yang ditawarkan oleh Amazon Go. Mereka belum terbiasa mengambil barang dan langsung pergi tanpa membayar ke kasir.
Semua itu terjadi lantaran mereka enggak diajarkan konsep kantin kejujuran sewaktu bersekolah dulu. Sekolah-sekolah di Amerika memang enggak menerapkan kantin kejujuran. Barangkali konsep itu terdengar aneh sehingga sampai saat ini, belum tersiar kabar bahwa ada sekolah di Amerika yang merintis usaha kantin kejujuran. Oleh sebab itu, sewaktu Amazon Go yang mekanismenya mirip dengan kantin kejujuran hadir di tengah-tengah masyarakat, masyarakat Amerika mungkin akan merasa canggung berbelanja di situ.
Hal berbeda tentu akan terlihat andaikan Amazon Go diterapkan di Indonesia. Masyarakat Indonesia enggak akan “kagok” lagi berbelanja di situ lantaran modelnya mirip dengan kantin kejujuran yang umumnya mereka jumpai di sekolah-sekolah. Jadi, secara kultural, masyarakat Indonesia sebetulnya sudah siap menerima kehadiran Amazon Go.
Bagaimanapun, Amazon Go adalah upaya futuristik yang dilakukan oleh Amazon untuk “mewarnai” wajah industri ritel di Amerika Serikat. Seperti proyek-proyek futuristik lainnya, kehadiran Amazon Go masih menimbulkan spekulasi apakah akan diterima oleh masyarakat atau sebaliknya. Namun, yang jelas, keberadaan Amazon Go menjadi sebuah inovasi unik, yang mungkin saja akan menciptakan momentum perubahan dalam industri ritel pada masa depan.