Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Apa Salahnya Belajar dari "Bollywood"

19 November 2016   08:58 Diperbarui: 19 November 2016   09:38 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
industri perfilman india sudah sedemikian maju sehingga kita bisa sedikit belajar darinya/www.odyssey.com

Selain itu, dengan menampilkan modern dance yang apik, film itu terasa menarik, terutama untuk penonton yang berusia jauh lebih muda. Maka, sewaktu menyaksikan film itu pertama kalinya, saya pun langsung terpincut.

“Filmnya ternyata nggak norak, tapi asyik,” kata saya di dalam hati selesai menyaksikan film berdurasi 2 jam lebih itu. Jadi, biarpun aktornya sudah enggak muda lagi, tapi kalau dibawakan dengan nuansa seperti itu, anak muda tentunya akan langsung “jatuh cinta” begitu melihatnya.

Namun demikian, semua itu hanyalah “ornamen” pelengkap film. Kekuatan sebuah film tetap terletak pada kisahnya. Dari film-film India yang sudah pernah saya tonton, sineas India tampaknya sudah mulai keluar dari “pakem”-nya. Kalau dulu film-film India lebih banyak ngomongin soal cinta-cintaan, sekarang sudah ada film India yang mengusung tema berbeda.

Sebut saja film PK (2014) yang menceritakan kegalauan seorang “alien” terhadap agama-agama yang dianut manusia. Belum lagi film Airlift (2016), yang menceritakan eksodus terbesar warga India dari Kuwait untuk menyelamatkan diri yang terjadi pada tahun 80-an. Kedua film itu tak lagi mengangkat tema tentang cinta, tapi sudah mengeksplorasi tema seputar kemanusiaan.

Belajar dari Industri Perfilman India

Dari uraian yang sudah disampaikan di atas, kita tentunya dapat melihat betapa pesatnya perkembangan industri film di India. Oleh sebab itu, sineas Indonesia tampaknya perlu belajar meniru pelaku industri film di India. Tentunya bukan dalam arti kita mulai menyisipkan tarian dan nyanyian dalam film-film yang akan diproduksi. Bukan itu.

Namun, kita bisa mulai belajar teknik sinematografi, manajamen perfilman, dan upaya pemasarannya. Semua itu perlu dilakukan agar industri perfilman kita tak “stag” pada film bertema horor atau percintaan yang itu-itu saja.

Sementara itu, kita pun perlu merumuskan “keunikan” film-film kita, supaya film-film yang diproduksi mempunyai ciri khas. Kalau film India ciri khasnya adalah adanya tarian dan nyanyian, film-film kita apa?

Barangkali keindahan alam Indonesia yang melimpah ruah dapat menjadi aset berharga yang belum banyak tergali dalam proses pembuatan film. Selain jadi latar yang pas untuk sebuah film, keindahan alam Indonesia juga dapat ikut “terpromosi” lewat film-film tersebut, seperti yang terjadi pada film Laskar Pelangi dan 5 Cm.

Dengan demikian, semoga saja, pada masa depan, akan ada banyak film dan sinetron dari negeri kita yang tayang secara rutin di televisi di negara lainnya.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun