Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengapa Kita (Masih) Tertipu Janji Manis Investasi Bodong?

17 November 2016   11:23 Diperbarui: 18 November 2016   11:23 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kita wajib mewaspadai perusahaan investasi bodong/ www.infobanknews.com

Nasabah yang punya simpanan di Pandawa Group kini tengah resah lantaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini merilis penyataan kalau lembaga keuangan tersebut ternyata tidak punya izin dari OJK. Lembaga yang bermarkas di Depok itu pun disinyalir berpotensi merugikan nasabah dan melanggar Undang-Undang tentang Perbankan.

OJK kemudian memberi masyarakat imbauan supaya tidak menyimpan dana di Pandawa Group. "Apabila ada masyarakat yang mengetahui masih adanya kegiatan tersebut agar dapat melaporkan kepada layanan konsumen OJK melalui 1500655 atau konsumen@ojk.go.id dan waspadainvestasi@ojk.go.id," kata Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L Tobing, seperti dikutip di situs pikiran-rakyat.com.

Pandawa Group adalah satu di antara sekian banyak lembaga keuangan yang terjerat kasus legalitas. Belum lama ini, OJK juga menyebut tiga lembaga keuangan lainnya yang punya masalah perizinan dan hukum.

Ketiganya adalah adalah PT Cakrabuana Sukses Indonesia (PT CSI) dan Dream For Freedom dan United Nations Swissindo World Trust International Orbit (UN Swissindo). Ketiga lembaga itu pun berstatus ilegal dan berpotensi menggelapkan semua uang yang dihimpun dari masyarakat.

Modus ketiga lembaga itu untuk 'merayu' calon nasabahnya pun bermacam-macam. Sebagai contoh, PT CSI melancarkan aksinya dengan membuka koperasi. Agar masyarakat terpincut menyimpan uangnya di koperasi itu, PT CSI memberikan iming-iming bunga 5% pada para nasabahnya.

Akhirnya banyak juga masyarakat yang tertarik 'menanamkan' dananya di koperasi tersebut. Lewat cara itu, PT CSI berhasil mengumpulkan dana sebesar dua triliun dari 7 ribu nasabahnya.

Kemudian, modus yang dilakukan oleh Dream For Freedom sedikit berbeda. Lembaga itu menawarkan intensif yang menggiurkan untuk menjerat calon nasabahnya. Caranya begini. Calon nasabah awalnya diminta membayar biaya pendaftaran. Nasabah lalu dapat memilih paket keikutsertaan dengan nominal tertentu.

Nasabah selanjutnya akan mendapat bonus pasif sebesar 1 persen selama 15 hari, bonus aktif sebesar 10 persen jika peserta merekrut anggota baru. Pada tahap tertentu nasabah akan memperoleh penghasilan tetap Rp 5 juta sampai Rp 500 juta. Dengan skema itu, Dream For Freedom telah menghimpun dana Rp 3,5 triliun dari 700 ribu nasabahnya.

Sementara itu, modus UN Swissindo adalah menawarkan janji pelunasan kredit atau pembebasan utang rakyat dengan sasaran para debitur macet pada bank, perusahaan pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Untuk itu, UN Swissindo menerbitkan surat jaminan palsu dan meyakinkan nasabahnya supaya tidak membayar utang mereka karena sudah dijaminkan pelunasannya dengan surat palsu tersebut. Dengan cara itu, UN Swissindo berhasil mengumpulkan 300 juta rupiah.

Faktor yang Membuat Masyarakat Tertarik Ikut Bergabung dengan Perusahaan Investasi Bodong
Setelah mencermati kasus lembaga keuangan tersebut, kita tentunya bertanya-tanya, “Mengapa ya masyarakat masih saja mudah terpincut bergabung dengan lembaga itu? Bukankah selama ini, media massa, baik cetak maupun elektronik, sudah mewanti-wanti masyarakat terhadap modus perusahaan investasi bodong?"

Bukankah kini juga telah ada Otoritas Jasa Keuangan yang menjadi tempat untuk mengklarifikasi perizinan lembaga keuangan yang menawarkan jasa demikian? Namun, apa sebabnya yang membuat masyarakat gampang tergiur oleh iming-iming yang ditawarkan lembaga keuangan itu?”

Menurut hemat saya, jawaban atas pertanyaan tersebut terletak pada faktor keserakahan dan Efek Pengakuan Sosial. Kedua hal itu tampaknya berpengaruh besar terhadap perilaku investasi masyarakat sehingga mudah terpedaya oleh 'bujuk rayu' perusahaan investasi abal-abal.

Sebagaimana diketahui, lembaga keuangan yang disebutkan di atas kerap menjerat calon nasabahnya dengan memberi iming-iming tertentu. Iming-iming itu bisa berupa bunga yang tinggi, bisa pula bonus yang 'wah'. Bagi orang yang punya sifat keserakahan yang besar, iming-iming seperti itu tentunya terasa menggiurkan.

Siapa yang tak akan tergoda kalau kita dijanjikan akan dapat bunga di atas 5% jika berinvestasi di lembaga demikian? Siapa pula yang tak akan terpincut dapat menggandakan uangnya dalam waktu yang relatif singkat? Siapa juga yang tak mau memperoleh untung besar tanpa harus capai-capai memeras keringat, banting-tulang siang-malam?

Barangkali itulah yang terdapat di dalam pikiran seseorang yang dipenuhi keserakahan sewaktu mendapat tawaran berinvestasi di lembaga keuangan yang enggak jelas perizinannya. Akibatnya, orang itu cenderung akan langsung mengambil tawaran itu tanpa berpikir 1000 kali. Semua itu terjadi lantaran orang itu sudah terbawa nafsu terlebih dahulu dan mengesampingkan risikonya.

Selain itu, Efek Pengakuan Sosial juga turut berpengaruh dalam pengambilan keputusan berinvestasi. Efek pengakuan sosial adalah kecenderungan untuk mengikuti pikiran dan perilaku mayoritas masyarakat. Jadi, sederhananya, kalau kita terpengaruh efek itu, kita hanya asal ikut-ikutan saja apa yang dilakukan oleh orang lain.

Efek tersebut terlihat pada banyaknya orang yang hanya ikut-ikutan orang lain dalam berinvestasi. Orang itu tertarik ikut bergabung dengan perusahaan investasi abal-abal setelah mendapat tawaran dari kerabat yang sudah terlebih dahulu menjadi anggota di situ. Lantaran merasa sudah kenal betul dengan yang bersangkutan, ia cenderung akan langsung bergabung tanpa memeriksa legalitas perusahaan itu.

Selain itu, kekhawatiran atas penipuan pun sedikit berkurang karena ia mungkin saja berpikiran, “Kalau untung ya sama-sama untung; kalau rugi ya sama-sama rugi.” Akibatnya, tanpa mempertimbangkan kejelasan aspek hukumnya, ia asal ikut-ikutan bergabung dengan perusahaan itu.

Pertimbangan dalam Berinvestasi
Saya pribadi bukanlah orang yang anti berinvestasi di lembaga keuangan. Hanya saja, sewaktu akan menanamkan dana, kita harus terlebih dulu punya pertimbangan. Dalam berinvestasi, biasanya saya memegang dua prinsip, yaitu jelas dan wajar.

Jadi, pada saat akan berinvestasi, saya terlebih dahulu memeriksa semua legalitas lembaga keuangan yang bersangkutan. Caranya? Cukup kunjungi laman situs Otoritas Jasa Keuangan, atau hubungi layanan masyarakat di OJK untuk menanyakan lebih lanjut soal legalitas lembaga yang dimaksud.

Kemudian, periksa juga kewajaran dari tawaran yang disampaikan oleh lembaga tertentu. Kalau ada lembaga keuangan yang memberi iming-iming bunga besar atau bonus dalam waktu yang singkat, hampir dipastikan kalau lembaga itu adalah perusahaan investasi bodong.

Jadi, berinvestasi itu tidaklah keliru asalkan kita melakukannya dengan menganut prinsip jelas dan wajar. Dengan berinvestasi secara tepat, kita sesungguhnya bisa melestarikan kekayaan yang dimiliki untuk dinikmati oleh diri sendiri dan keluarga kita pada kemudian hari.

Salam.

Referensi:

  • "OJK: Jangan Simpan Uang di Pandawa Group”, Pikiran Rakyat, diakses pada tanggal 17 November 2016.
  • “OJK Nyatakan 3 Perusahaan Investasi Ini Ilegal”, Liputan6, diakses pada tanggal 17 November 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun