Sewaktu dalam perjalanan menuju pasar, perasaan saya tiba-tiba saja terasa campur aduk. Pikiran saya lantas terbayang pada hp yang saya tinggal di rumah. Saya merasa cemas karena, sebelumnya, hp itu tengah diisi baterainya, dan saya ragu apakah sudah mencabut chargernya atau belum sewaktu akan berangkat tadi.
Saya takut hp itu menjadi panas akibat terlalu lama diisi baterainya. Ibarat sebuah percikan api yang membakar setumpuk ilalang kering, pikiran saya bahkan semakin larut dalam ketakutan setelah membayangkan bahwa jangan-jangan terjadi korsleting listrik, yang dapat memicu kebakaran.
Andaikan ada orang di rumah, dengan memakai hp lainnya, saya tentu dapat minta supaya orang rumah memeriksa keadaannya. Namun, pada waktu itu, sedang tidak ada siapapun di rumah. Sementara itu, saya tak bisa memutar balik kendaraan lantaran saya punya janji yang harus dipenuhi tepat waktu. Jadilah saya merasa cemas sepanjang perjalanan lantaran terus memikirkan hp itu.
Kejadian itu tentunya pernah pula dialami sejumlah orang. Hanya bedanya, kalau saya cemas terhadap hp, orang lain barangkali khawatir terhadap benda lainnya. Sebagai contoh, saya ingat pada suatu pagi, mama saya menelepon dan menyuruh saya untuk mengecek kompor di dapur. Ia ternyata takut lupa mematikan kompor sebelum berangkat ke pasar.
Untungnya saya sedang berada di rumah pada waktu itu sehingga saya bisa langsung mengecek kondisi kompor. Setelah memastikan bahwa kompor dalam kondisi mati, saya langsung mengabarinya supaya ia tak lagi merasa was-was.
Kasus lain yang umumnya terjadi di sekitar lingkungan rumah adalah lupa mematikan setrika, memadamkan listrik ac, dan mengunci pintu rumah sebelum si penghuni rumah berangkat ke luar. Semua kelalaian itu tentunya dapat menimbulkan kecemasan. Apalagi kalau si pemilik rumah gampang terserang kepanikan.
Perasaan cemas itu tentunya adalah reaksi yang manusiawi. Dalam kadar yang wajar, perasaan itu menjadi semacam “alarm”, yang membikin kita waspada terhadap bahaya yang mungkin saja datang. Namun demikian, pada tahap kronis, alih-alih memberi manfaat untuk hidup kita, perasaan itu malah menimbulkan masalah, terutama dalam kesehatan fisik dan mental.
Persoalan itu biasanya sering terjadi pada orang-orang yang punya riwayat kepanikan yang akut. Dalam buku Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman menjelaskan bahwa seseorang yang terserang rasa panik yang berlebihan cenderung memunculkan efek tertentu pada tubuhnya, seperti keluarnya keringat dingin, cepatnya detak jantung, dan tegangnya otot-otot di sekujur tubuh.
Belum lagi, insomnia yang terus “merongrong” si pengidap kecemasan kronis. Biarpun tubuh sudah lelah dan mata telah berat, tetapi karena terus larut dalam kecemasan, si pengidap susah sekali tertidur dengan lelap. Akibatnya, kalau terus berlanjut, bisa-bisa bugaran fisik terus turun dan rentan terserang penyakit lainnya.
Perasaan cemas itu tentunya dapat dicegah dengan sejumlah cara. Sebelum berangkat bekerja atau bepergian, misalnya, kita harus memastikan keamanan rumah.
Area yang perlu dicermati biasanya adalah pagar, kamar tidur, dan dapur. Pastikanlah pagar tertutup dan terkunci dengan baik. Juga perhatikan kondisi sakelar ac di kamar tidur. Padamkanlah arus listrik pada ac sebab korsleting listrik umumnya terjadi karena itu.
Di dapur, kita harus memeriksa kondisi kompor gas. Ceklah bahwa kompor gas sudah dalam keadaan padam dan aman. Terakhir, cabut semua kabel peralatan elektronik, yang tidak diperlukan, seperti televisi, hp, dispenser, dan penanak nasi. Semua itu dilakukan untuk meminimalkan risiko terjadinya kebakaran.
“Kalau saya sudah terlanjur di jalan, apa yang harus dilakukan?” Telepon orang rumah atau tetangga dekat untuk memastikan keamanan rumah. Namun, kalau tak ada siapapun di situ, barangkali anjuran Goleman dapat dilakukan: relaksasi dan berpikir positif.
Relaksasi dilaksanakan manakala perasaan cemas yang timbul sudah sedemikian mengganggu kita. Terdapat beragam teknik relaksasi. Salah satunya adalah pernapasan diafragma. Cara itu dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun lantaran kita hanya perlu bernapas dengan menggunakan otot-otot diafragma.
Sementara itu, berpikir positif membantu meredakan “badai” kecemasan yang sedang terjadi. Berpikir positif bisa dilakukan dengan mengajukan sejumlah pertanyaan berikut: “Bukankah tadi saya keluar dalam keadaan perasaan yang tenang? Berarti saya yakin betul telah memastikan keamanan rumah. Jadi, untuk apa, saya terganggu oleh rasa cemas ini?”
Saya memanfaatkan teknik itu sewaktu mengatasi rasa cemas akibat lupa mencabut charger hp. Uniknya, cara itu berhasil meredakan kecemasan yang saya alami. Setelah menyelesaikan semua urusan, saya pun langsung kembali ke rumah, dan ternyata, seperti yang sudah saya duga, tidak terjadi apa-apa!
Perkiraan saya meleset jauh. Charger hp yang saya duga masih terpasang di sakelar ternyata sudah dicabut. Saya kurang memerhatikannya saja sehingga itu akhinya jadi bahan pikiran.
Namun demikian, dari situ, saya mendapat “hikmah” bahwa apapun yang kita pikirkan akan terjadi, yang terjadi justru berbeda dari yang kita pikirkan sebelumnya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H