Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

“Gue Rasanya Mau Resign Aja”

21 Oktober 2016   07:57 Diperbarui: 24 Oktober 2016   09:36 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Gue rasanya mau resign aja”, curhat sepupu saya. Suaranya terdengar disertai kilasan kemarahan. Sebuah indikasi kalau ia sudah “muak” dengan pekerjaannya sehingga punya pikiran buat berhenti kerja.

Usut punya usut, ternyata ia mempunyai persoalan dengan atasannya. Menurutnya, atasannya adalah orang yang tak kompeten dalam menangani urusan manajerial. Selain itu, kebiasaannya yang suka “meledak-ledak”, seperti petasan, semakin memperkeruh suasana kantor.

Namun demikian, saya memberi sedikit nasihat kepadanya untuk mempertimbangkan betul-betul niatan itu. Jangan sampai ia menyesal telah salah membikin keputusan lantaran terbawa emosi sesaat. Apalagi ia telah bekerja di perusahaan selama enam tahun. Tentu itu akan menimbulkan dampak yang kuat dalam kehidupannya, terutama soal finansial.

Persoalan antara staf dan atasan memang sering terjadi di pelbagai perusahaan. Setiap staf pasti pernah mengalaminya, termasuk saya pribadi. Kalau punya atasan yang enak diajak bicara, kita tentu akan merasa nyaman. Biarpun dimarahi atasan lantaran membikin suatu kesalahan, kita bersedia mengakui kesalahan itu dan mau memperbaiki diri.

Tak ada kekecewaan. Tak ada sakit hati. Apalagi dendam. Semua itu terjadi lantaran atasan mengetahui cara menangani karyawan secara bijaksana. Ia memahami perasaan stafnya, dan bersedia memperlakukannya sebagaimana ia ingin diperlakukan. Bersyukurlah staf yang mempunyai atasan seperti itu!

Berbeda kasusnya, kalau kita bekerja di bawah arahan bos yang suka marah-marah. Jangankan kesalahan besar, kesalahan kecil pun sering diperkarakan. Apalagi kalau perkara itu sampai dibawa ke “muka” publik, perasaan staf bisa campur aduk. Staf mana yang akan merasa nyaman kalau dimarahi oleh atasan di depan banyak orang? Staf mana pula yang bisa bekerja dengan tenang setelah kesalahannya diumbar sehingga karyawan lain mengetahuinya?

Perilaku yang ditunjukkan oleh atasan, apakah baik atau buruk, ternyata berhubungan dengan kinerja staf. Dalam buku Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman menjelaskan bahwa staf yang dibimbing oleh atasan yang cerdas emosi cenderung menunjukkan prestasi kerja. Pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu dan hasilnya pun bagus. Tak hanya itu, kepercayaan dirinya pun meningkat. Apalagi semangat kerja. Bisa-bisa, saking semangatnya, staf malah minta pekerjaan tambahan. Hehehe.

Sementara itu, kalau di bawah arahan atasan yang doyan kritik, jangankan prestasi, pekerjaan sehari-hari saja jadi malas diselesaikan. Boro-boro bisa mendongkrak kinerja perusahaan, staf malah hilang semangat, hilang arah, atau bahkan hilang minat terhadap pekerjaan. Kalau sudah demikian, bisa-bisa banyak staf yang “cabut” dari perusahaan. Semua itu tentunya terjadi lantaran perilaku atasan yang suka ngomel-ngomel nggak jelas di kantor.

Kalau saya sudah “terlanjur” mendapat atasan seperti itu, apa yang harus saya perbuat? Barangkali sedikit nasihat dari Kate White dapat membantu: “ … Jika Anda dipimpin oleh bos yang buruk, jangan putus asa. Anda tidak sendiri. Ada banyak karyawan yang memiliki bos yang jauh lebih buruk daripada yang Anda miliki sekarang.

Salam.

Artikel Sebelumnya: Dari Bungkus Rokok ke Bisnis Ritel: Sebuah Refleksi Kewirausahaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun