“The true entrepreneur is a doer, not a dreamer,” kata Nolan Bushnell. Kalimat itu barangkali bisa menjadi sebuah cermin dalam merefleksikan pengalaman berwirausaha yang pernah saya lakukan.Pada tulisan ini, perkenankanlah saya berbagi sedikit cerita sewaktu saya menumbuhkan keterampilan berwirausaha sejak masih berusia dini.
Kegiatan wirausaha yang saya geluti sebetulnya sudah dilakukan sejak saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Pada waktu itu, saya ingat betul bahwa teman-teman sekelas sedang asyik membicarakan koleksi bungkus rokok. Bungkus rokok memang tengah menjadi “trending topic”, dan kami asyik memamerkan bungkus rokok yang dimiliki.
Bungkus yang dikoleksi tentunya bukan bungkus rokok yang mudah didapat. Bungkus rokok yang bernilai tinggi adalah bungkus rokok yang mereknya jarang dijumpai di masyarakat. Jadi, semakin langka, semakin bernilai pula bungkus rokok itu di mata anak-anak SD seperti kami.
Lantaran hebohnya koleksi bungkus rokok pada waktu itu, saya pun ikut tertarik mengumpulkan bungkus rokok. Iseng-iseng saya mencari bungkus rokok di sekitar rumah. Pada waktu itu, saya layaknya seorang “Indiana Jones”, yang pergi menjelajahi pelbagai tempat untuk menemukan harta karun yang berlimpah.
Saking gigihnya mencari, saya sampai rela mengaduk-aduk tumpukan sampah di pinggiran kali. Akhirnya saya pun menemukan sebuah bungkus rokok langka. Mereknya Commodore. Warnanya hijau rumput laut dibalut putih. Saya sungguh senang lantaran berhasil mendapatkan bungkus rokok langka yang bisa saya perlihatkan kepada teman-teman.
Dari situ saya belajar prinsip dasar dalam berwirausaha. Saya jadi mengetahui kalau roda bisnis akan berputar kalau kita bisa memenuhi permintaan pasar. Namun demikian, itu adalah pelajaran awal. Bertahun-tahun kemudian, saya mendapat pelajaran lain yang juga penting dalam menjalankan kewirausahaan.
Sewaktu duduk di bangku SMA, minat saya berubah lagi. Kini saya tertarik pada sastra. Saya ingat bahwa ketika teman sekelas pergi ke kantin pas jam istirahat tiba, saya malah mengunjungi perpustakaan sekolah. Perpustakaan itu memang tak memiliki banyak buku, tetapi di situ terdapat sejumlah Majalah Horison.
Saya asyik “tenggelam” dalam pelbagai karya sastra, seperti puisi dan cerpen. Lewat majalah itu, saya tak hanya menikmati sastra, tetapi juga mengenal sejumlah Sastrawan Indonesia, seperti WS Rendra, Putu Wijaya, Ramadhan KH, Acep Zamzam Noor, dan Kuntowijoyo. Karya sastra menjadi semacam “baterai” yang mengisi batin saya.
Tak cuma sebatas penikmat, diam-diam saya pun mulai belajar menulis sastra. Karya-karya awal yang saya buat mungkin saja rendah mutunya, dan cenderung terpengaruh oleh daya ungkap penulis lain.
Namun, saya tetap memberanikan diri untuk mengirimkan karya saya ke penerbit. Oleh karena di Majalah Horison terdapat rubrik “Kaki Langit”, yang khusus memuat tulisan karya anak sekolah atau guru, saya memutuskan mengirim beberapa puisi saya ke majalah itu.