Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Presiden Juan Manuel Santos Raih Nobel Perdamaian Norwegia

8 Oktober 2016   09:26 Diperbarui: 9 Oktober 2016   13:05 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komite Nobel Norwegia memutuskan menganugerahkan penghargaan Hadiah Nobel Perdamaian 2016 kepada Presiden Kolombia Juan Manuel Santos. Santos dinilai berjasa mengakhiri perang saudara selama lebih dari 50 tahun di Kolumbia. Sebuah perang yang telah merenggut sedikitnya 220.000 jiwa rakyat Kolombia dan menyebabkan hampir enam juta orang mengungsi.

Perang saudara di Kolumbia memang sudah dimulai sejak tahun 1964. Saat itu, FARC (Pasukan Bersenjata Revolusioner Kolombia) memutuskan berperang dengan pemerintah untuk memperjuangkan reformasi tanah dan kesetaraan. Perang itu terus berlangsung bertahun-tahun. Biarpun demikian, sempat ada negosiasi damai antara pemerintah Kolumbia dan FARC, seperti yang terjadi pada tahun 1980. Namun, negosiasi itu kemudian gagal lantaran belum ada titik temu di antara kedua pihak.

Harapan rakyat Kolumbia untuk hidup tentram mulai terwujud ketika pemimpin FARC, Alfonso Cano, tewas dalam operasi militer pada 4 November 2011. Sejak mengambil alih kepemimpinan FARC pada tahun 2008, pria berkacamata dan berjenggot seperti 'santa klaus' itu memang menjadi 'dalang' di balik serangkaian teror yang terjadi di Kolumbia.

Posisi Cano kemudian digantikan oleh Rodrigo Londono, yang akrab dipanggil Timoleon Jimenez atau Timochenko. Pada era kepemimpinan Timochenko, FARC mulai membuka 'pintu damai' dengan pemerintah Kolumbia. Presiden Kolumbia, Juan Manuel Santos, pun menyambut baik inisiatif itu. Pada tahun 2012, kedua pihak mulai mendiskusikan upaya rekonsiliasi. Kesepakatan damai pun akhirnya ditandatangani pada tanggal 26 September 2016.

Dengan demikian, berakhirlah perang saudara di Kolumbia yang telah berlangsung selama 52 tahun. Atas upaya perdamaian itu, Presiden Juan Manuel Santos pun menerima hadiah Nobel Perdamaian 2016.

Kasus perang saudara yang terjadi di Kolumbia mengingatkan saya pada cerita masa lampau. Kisah itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, tetapi hikmah yang terdapat di dalamnya terasa sangat relevan dengan situasi dunia pada masa kini. Alkisah, hiduplah dua suku bangsa di kawasan India Utara. Kedua suku itu awalnya hidup dengan akur dan damai.

Namun demikian, ketentraman itu mulai terusik lantaran terjadi konflik dalam memperebutkan jatah air sungai yang membatasi wilayah kedua suku itu. Sungai itu memang sudah bertahun-tahun mengaliri lahan pertanian masing-masing. Akibat kemarau yang panjang, debit air di sungai itu terus berkurang. Oleh sebab itu, kedua suku itu mengalami kesulitan dalam memperoleh air untuk membasahi sawah-sawah.

Kedua pihak pun mulai memperebutkan jatah air yang tersisa. Lantaran keduanya ogah mengalah, timbullah konflik. Ibarat sebuah percikan api kecil yang mampu membakar gudang kayu, konflik itu terus merembet sehingga akhirnya keduanya memutuskan berperang hanya untuk mendapat air.

Saat keduanya sudah saling berhadapan dengan senjata di tangan, seorang guru yang bijaksana datang melerai pertempuran. Ia adalah sesepuh yang sangat dihormati oleh kedua suku itu. Dengan suara yang dalam, ia berkata pada kedua pasukan itu: “Hanya demi sedikit air yang lebih rendah nilainya, kamu seharusnya tidak mengorbankan hidupmu yang jauh lebih tinggi harganya. Mengapa kamu melakukan tindakan yang bodoh ini? Kalau aku tidak menghentikan kamu sekarang, darah kamulah yang justru membanjiri sungai kering ini.”

Kedua pihak kemudian menjatuhkan senjata yang digenggamnya. Mereka menyadari kesalahan yang sudah diperbuat. Akhirnya, alih-alih mengorbankan banyak jiwa dalam suatu peperangan, mereka sepakat berdamai. Sejak saat itu, walaupun jumlah air terbatas, mereka bersedia berbagi sehingga keduanya dapat terus hidup dengan akur.

Ibarat sebuah rantai, peperangan hanya akan menciptakan ikatan emosi yang disebut 'kebencian'. Kalau sudah terikat oleh kebencian, kedua pihak akan terus bertikai, seperti yang terjadi di Kolumbia. Hanya rekonsiliasi yang dapat mengakhiri kebencian. Oleh sebab itu, kasus perang saudara yang sudah berlangsung selama 52 tahun di Kolumbia memberi kita sebuah pelajaran penting tentang makna kedamaian bagi sesama.

Referensi:

www.bbc.com | www.nobelprize.org | www.nydailynews.com | www.tempo.co | www.time.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun