Sementara itu, kerabat saya mengaku sulit menyumbangkan baju-baju yang sudah memenuhi di lemari pakaiannya. Walaupun sangat jarang dipakai, terutama karena terjadi “perubahan bentuk badan”, alias sudah tidak muat lagi, ia masih saja sulit melepaskan keterikatan terhadap pakaian itu. Nalarnya mungkin saja berkata, “Daripada bikin sumpek lemari, lebih baik sebagian pakaian itu disumbangkan saja ke orang lain; kan itu perbuatan baik juga.”
Namun demikian, perasaannya barangkali berucap lain: “Susah payah saya membelinya; masak dikasih begitu saja; sayang, siapa tahu nanti bisa dipakai lagi.” Oleh sebab itu, ia menahan diri untuk memberi pakaian itu kepada orang lain, dan terus saja mengeluhkan lemarinya yang sudah “overload”.
Kalau terjadi demikian, tandanya kita masih mempunyai ikatan emosi yang kuat terhadap “kesayangan” kita. Oleh sebab itu, biarpun sudah waktunya berpisah, kita merasa "berat" melepaskannya. Kita belum bisa atau siap “move on” dari sesuatu yang disayang.
Namun demikian, untuk mengatasi perasaan itu, barangkali sedikit nasihat dari Rolf Dobelli dapat membantu. “Anggap barang milik Anda itu sesuatu yang alam semesta berikan untuk sementara kepada Anda,” ujarnya. “Ingatlah bahwa alam dapat mengambilnya (atau lebih) dalam sekejap.”
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H