Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Gaji Rekan Kantor Lebih Besar, Apa yang Harus Kita Lakukan?

30 September 2016   07:25 Diperbarui: 22 Oktober 2016   07:32 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Minggu Ini Adalah Pekan Gajian Bagi Para Pekerja/ www.liputan6.com

Menurut Kahlil Gibran, “ibu” adalah “kata tersejuk yang pernah dilantunkan oleh bibir manusia.” Namun, bagi pekerja kantoran, barangkali “gajian” adalah “kata yang jauh lebih sejuk terutama ketika disebutkan pada awal bulan!”

Minggu ini, terhitung tanggal 26 September - 2 Oktober, kita memang tengah memasuki pekan gajian. Setelah menyelesaikan pelbagai tugas, kini tibalah saatnya kita “memetik” hasil jerih payah yang sudah dikerahkan selama sebulan.

Kita umumnya merasa senang sewaktu menerima gaji. Namun demikian, ketika mendiskusikan besaran gaji, terutama kepada teman sekantor, kita mungkin merasa canggung atau jengah.

Pembicaraan soal gaji memang sensitif. Akan tetapi, kita selalu saja tertarik membicarakannya biarpun harus secara diam-diam alias “kasak-kusuk”.

Sebagai contoh, sewaktu menerima gaji, pernahkah terlintas di pikiran kita sebuah pertanyaan sederhana berikut ini. “Kalau gajiku sekian, kira-kira berapa ya gaji rekan kerjaku? Apakah gajinya sama denganku, lebih rendah dariku, atau justru lebih tinggi? Kemudian, berapa pula gaji yang diterima oleh atasanku?”

Itu adalah pertanyaan yang umum diajukan oleh para pekerja. Pertanyaan itu biasanya hanya disimpan di hati saja lantaran kita terlalu takut menanyakannya secara langsung.

Kalaupun berani diajukan, paling-paling kita hanya bertanya pada teman kantor tertentu. Seseorang yang dapat dipercaya alias dianggap mampu menjaga “rahasia kecil” itu sehingga situasi kantor bisa terus berlangsung kondusif.

Mengapa pembicaraan seputar gaji dilakukan secara sembunyi-sembunyi seperti “bisik-bisik tetangga”? Hal itu tentunya bertujuan meminimalkan kecemburuan sosial, yang mungkin muncul di lingkungan pekerja.

Misalnya saja, kita adalah seorang programer komputer di sebuah perusahaan vendor yang digaji sekitar lima juta per bulannya. Nominal itu muncul setelah kita menjalani negosiasi gaji dengan HRD perusahaan pada tahap seleksi penerimaan pegawai.

Namun, setelah sekian bulan bekerja, kita mengetahui kalau rekan setim kita, sesama programer, diupah tujuh juta rupiah per bulannya. Dua juta lebih tinggi dari kita!

Padahal, proyek yang dikerjakan sama. Tugas yang harus dituntaskan sama. Jam kerja yang ditentukan pun sama. Kemudian, dalam hati kecil kita, kita bertanya, “Mengapa ya aku dibayar lebih sedikit sementara teman sekantorku jauh lebih banyak dengan beban kerja yang sama?

Dari situ timbullah sebuah kecemburuan sosial. Kecemburuan itu tentunya dapat memunculkan dampak negatif terhadap kinerja kita. Sebagai contoh, setelah mengetahuinya, mungkin saja kita menjadi hilang semangat dalam bekerja karena mempunyai pikiran: “Buat apa aku bekerja keras? Toh pada akhirnya aku hanya akan dibayar segitu. Ia yang digaji lebih seharusnya mengerjakan tugas lebih banyak.”

Semua pikiran itu timbul lantaran adanya bias perbandingan sosial. Dalam buku The Art of Thinking Clearly, Rolf Dobelli menjelaskan bahwa bias perbandingan sosial adalah sebuah kecenderungan untuk menolak memberi bantuan kepada orang lain yang mungkin mengalahkan kita dalam suatu hal.

Kecenderungan itu terjadi setelah kita mencoba membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Pembandingan itu bisa mencakup banyak hal. Tak hanya soal gaji, dalam hal pekerjaan di kantor, kita pun cenderung membandingkan tugas yang diemban, reputasi yang diraih, dan, tentunya, kekuasaan yang dijabat. Oleh sebab itu, karena terlalu sering membuat perbandingan, timbullah sebuah ungkapan yang sudah sering kita dengar di iklan televisi: “Rumput tetangga memang selalu lebih hijau.”

Ibarat filosofi yin-yang, bias perbandingan sosial menimbulkan dua dampak, yaitu positif dan negatif. Bias itu berdampak positif manakala kita berusaha membandingkan diri kita dengan orang lain yang kondisinya di bawah kita.

Sebagai contoh, biarpun kita mempunyai gaji pas-pasan, sewaktu bertemu dengan orang yang hidupnya (maaf) lebih “kurang” dari kita, tentunya akan timbul perasaan syukur yang kuat dalam hati kita.

Kemudian, walaupun hanya memiliki rumah kategori “mewah” alias “mepet sawah”, kita tentu akan bersyukur ketika melihat orang-orang yang hanya bisa tidur di bawah fly over jalan raya.

Sementara itu, meskipun cuma memiliki keluarga kecil, perasaan syukur akan muncul saat kita menjumpai orang yang keluarga besarnya terpecah belah akibat berebut harta.

Semua itu akan memunculkan rasa syukur kalau kita mengubah sudut pandang kita sejenak saja.

Biarpun demikian, bias perbandingan sosial bisa memicu tekanan batin sewaktu kita membandingkan diri kita dengan orang yang hidupnya “lebih” dari kita.

Lebih yang saya maksud bisa mencakup sejumlah hal. Lebih tampan. Lebih kaya. Lebih terkenal. Lebih supel. Lebih terhomat. Lebih untung. Lebih bahagia. Lebih nyaman. Lebih sehat. Lebih mulia. Lebih…. Kita bisa mengisi sendiri “lebih” selanjutnya.

Kalau kita membuat perbandingan seperti itu, alih-alih merasa damai, kita malah menjadi lebih stres. Lebih dilema. Lebih galau. Lebih sedih. Lebih takut. Lebih minder. Lebih malu. Lebih pesimis. Lebih ….

Kita memang susah terhindar dari bias perbandingan sosial, seperti pembandingan besaran gaji sesama teman kantor. Namun demikian, kita dapat mengambil sikap dengan berhenti membandingkan diri sendiri dengan yang “lebih” dari kita, dan mulai mensyukuri semua rezeki yang dimiliki.

Salam.

Tulisan sebelumnya: Kotak-Katik” Kotak Kayu Bekas Menjadi Mini Garden"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun