Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Gaji Rekan Kantor Lebih Besar, Apa yang Harus Kita Lakukan?

30 September 2016   07:25 Diperbarui: 22 Oktober 2016   07:32 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Minggu Ini Adalah Pekan Gajian Bagi Para Pekerja/ www.liputan6.com

Dari situ timbullah sebuah kecemburuan sosial. Kecemburuan itu tentunya dapat memunculkan dampak negatif terhadap kinerja kita. Sebagai contoh, setelah mengetahuinya, mungkin saja kita menjadi hilang semangat dalam bekerja karena mempunyai pikiran: “Buat apa aku bekerja keras? Toh pada akhirnya aku hanya akan dibayar segitu. Ia yang digaji lebih seharusnya mengerjakan tugas lebih banyak.”

Semua pikiran itu timbul lantaran adanya bias perbandingan sosial. Dalam buku The Art of Thinking Clearly, Rolf Dobelli menjelaskan bahwa bias perbandingan sosial adalah sebuah kecenderungan untuk menolak memberi bantuan kepada orang lain yang mungkin mengalahkan kita dalam suatu hal.

Kecenderungan itu terjadi setelah kita mencoba membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Pembandingan itu bisa mencakup banyak hal. Tak hanya soal gaji, dalam hal pekerjaan di kantor, kita pun cenderung membandingkan tugas yang diemban, reputasi yang diraih, dan, tentunya, kekuasaan yang dijabat. Oleh sebab itu, karena terlalu sering membuat perbandingan, timbullah sebuah ungkapan yang sudah sering kita dengar di iklan televisi: “Rumput tetangga memang selalu lebih hijau.”

Ibarat filosofi yin-yang, bias perbandingan sosial menimbulkan dua dampak, yaitu positif dan negatif. Bias itu berdampak positif manakala kita berusaha membandingkan diri kita dengan orang lain yang kondisinya di bawah kita.

Sebagai contoh, biarpun kita mempunyai gaji pas-pasan, sewaktu bertemu dengan orang yang hidupnya (maaf) lebih “kurang” dari kita, tentunya akan timbul perasaan syukur yang kuat dalam hati kita.

Kemudian, walaupun hanya memiliki rumah kategori “mewah” alias “mepet sawah”, kita tentu akan bersyukur ketika melihat orang-orang yang hanya bisa tidur di bawah fly over jalan raya.

Sementara itu, meskipun cuma memiliki keluarga kecil, perasaan syukur akan muncul saat kita menjumpai orang yang keluarga besarnya terpecah belah akibat berebut harta.

Semua itu akan memunculkan rasa syukur kalau kita mengubah sudut pandang kita sejenak saja.

Biarpun demikian, bias perbandingan sosial bisa memicu tekanan batin sewaktu kita membandingkan diri kita dengan orang yang hidupnya “lebih” dari kita.

Lebih yang saya maksud bisa mencakup sejumlah hal. Lebih tampan. Lebih kaya. Lebih terkenal. Lebih supel. Lebih terhomat. Lebih untung. Lebih bahagia. Lebih nyaman. Lebih sehat. Lebih mulia. Lebih…. Kita bisa mengisi sendiri “lebih” selanjutnya.

Kalau kita membuat perbandingan seperti itu, alih-alih merasa damai, kita malah menjadi lebih stres. Lebih dilema. Lebih galau. Lebih sedih. Lebih takut. Lebih minder. Lebih malu. Lebih pesimis. Lebih ….

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun