“Pa, gasnya habis,” kata mama saya sewaktu ia sedang memasak. Ia memang sedang membuat makan malam untuk keluarga kami. Hanya saja, kegiatan itu sedikit terhambat lantaran gas elpiji yang terpasang di kompor sudah mengembuskan “napas terakhirnya”. Papa saya yang waktu itu sedang menonton televisi meletakkan remotenya di meja, bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi mengganti gas. Setelah gas elpiji sudah terpasang, kompor dapat menyala lagi, mama saya bisa lanjut memasak, dan papa saya kembali menyaksikan televisi.
Apakah kejadian itu terasa biasa? Mungkin. Namun, kalau kita memerhatikan, akan terlihat kalau mama saya tidak mengucapkan satu kalimat perintah pun! Mama saya hanya berkata kalau gas elpiji telah habis. Namun, mengapa papa saya segera mengganti tabung gas walaupun mama saya tidak memberi perintah? Itulah yang disebut kepekaan dalam keluarga. Orangtua saya memang sudah menikah sekian tahun. Jadi, pada saat ingin menyampaikan sesuatu, mereka tidak perlu lagi berbicara panjang lebar lantaran sudah bisa “membaca” perasaan masing-masing. Jadi, mereka mampu berkomunikasi dengan baik walaupun hanya mengucapkan sedikit kalimat dan kata.
Untuk "mengasah" kepekaan seperti itu, kita tentunya perlu mengenal dan memahami perasaan orang lain terlebih dulu. Biarpun terlihat mudah, ketika mempraktikkannya, kita akan menemui sejumlah tantangan. Tantangan itu bisa muncul sewaktu kita belajar “membaca” perasaan orang lain, terutama lawan jenis yang baru dikenal. Misalnya saja, pada saat seorang laki-laki berbicara kepada perempuan yang baru ditemuinya atau sebaliknya, sering terjadi miskomunikasi lantaran adanya perbedaan gaya komunikasi.
Pada dasarnya, gaya komunikasi laki-laki dan perempuan memang berbeda. Perbedaan itu bersumber dari fungsi otak masing-masing. Dalam buku Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read Maps, Allan dan Barbara Pease menjelaskan bahwa perempuan menunjukkan tingkat kemampuan bahasa yang lebih pesat di otaknya daripada laki-laki. Oleh sebab itu, perempuan umumnya lebih lancar berkomunikasi dengan orang lain dan cenderung "doyan" mengobrol berlama-lama, sementara laki-laki lebih banyak berdiam diri dalam sejumlah kasus.
Namun demikian, itu bukan berarti bahwa perempuan adalah komunikator yang unggul. Perempuan memang terampil “bersilat lidah”, tetapi mereka pun sering membikin lawan bicaranya, terutama laki-laki, salah kaprah terhadap maksudnya. Semua itu terjadi lantaran perempuan terbiasa menggunakan “bahasa bersayap”. Bahasa yang menimbulkan ambiguitas. Hal dapat dimaklumi karena perempuan memang "susah" berterus terang terhadap lawan bicaranya dan lebih nyaman menyampaikan maksudnya dengan isyarat-isyarat nonverbal, seperti lirikan mata, sentuhan, dan intonasi.
Akibatnya, kalau lawan bicaranya (baca: laki-laki) kurang peka, bisa-bisa terjadi keributan. Perempuan bisa sewot kepada laki-laki lantaran tidak memahami maksud hatinya. “Kamu kurang peka!” katanya. Sementara itu, dengan otak logisnya, laki-laki hanya bisa diam terbengong-bengong lantaran tidak mengetahui penyebab kekesalan lawan bicaranya itu.
Seperti sudah diilustrasikan di atas, kepekaan merupakan modal utama dalam berinteraksi dengan orang lain. Dalam sejumlah literatur, kepekaan bahkan disebut sebagai "inti kecerdasan emosi". Tanpa mempunyai kepekaan, seseorang sulit mengenali perasaannya sendiri dan orang lain sehingga akan tercipta ketidakharmonisan sosial.
Sebagai contoh, dalam buku Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman menceritakan kasus seorang pasien yang kita sebut saja Alex. Alex mempunyai tumor di belakang dahinya dan harus menjalani operasi untuk keselamatan jiwanya. Setelah melakukan sejumlah persiapan, Alex pun menjalani operasi itu. Operasi itu berjalan sukses. Tumor tersebut berhasil diangkat. Alex pun kembali sehat. Namun demikian, pascaoperasi, Alex merasa telah kehilangan sesuatu: ia sulit mengenali perasaannya! Ia mampu mengingat semua pengalaman yang sudah dilaluinya, tetapi ia sulit mengidentifikasi emosinya sendiri! Sejak saat itu, kehidupan Alex berubah total.
Atas rujukan dokter, keluarga kemudian membawanya kepada Antonio Damasio. Damasio adalah ahli neurologi yang sudah menyelidiki seluk-beluk otak selama bertahun-tahun, sehingga kredibilitasnya sebagai seorang ilmuwan sulit dibantah. Dalam sesi konseling, Damasio meminta Alex menceritakan semua perubahan hidupnya pascaoperasi. Alex pun menceritakan semua persoalan keluarganya, pertengkaran dengan tunangannya, dan pemutusan hubungan kerja yang dialaminya tanpa perasaan sedih sedikit pun. Semuanya disampaikan dengan nada datar. Bahkan, setelah Alex selesai bercerita, yang terlihat paling sedih justru Damasio sendiri! Apa yang dialami Alex adalah hilangnya kepekaan emosi yang diakibatkan efek samping pascaoperasi. Dari situ terlihat jelas kalau kepekaan itu ternyata memegang peranan penting dalam kehidupan kita.
Kepekaan bukanlah sebuah bakat bawaan. Ibarat sebuah keterampilan, kepekaan sebetulnya dapat dipelajari dan dilatih. Kepekaan bisa dibangun dengan menerapkan kebiasaan mawas diri. Hal itu berarti kita terbiasa mengawasi suasana hati kita setiap waktu. Seperti monitor yang menunjukkan suatu grafik, kita turut memerhatikan setiap gejolak emosi yang muncul. Saat kemarahan muncul, misalnya, kita mengamati timbulnya perasaan itu. Kemudian, dengan lembut, kita belajar melepasnya sehingga bibit amarah itu tidak bertumbuh di pikiran kita.
Olah penapasan dapat membantu mengokohkan kebiasaan mawas diri. Dalam buku Pernapasan Otak, Il Chi Lee menjelaskan bahwa dengan melakukan penapasan diafragma secara rutin, kita tak hanya bisa memperkuat mawas diri, tetapi juga menenangkan batin sewaktu emosi negatif, seperti kecemasan, ketakutan, dan kesedihan, timbul. Pernapasan itu sangat mudah dilakukan. Kita hanya perlu memejamkan mata, menarik napas yang panjang, lalu mengembuskannya lewat mulut seolah sedang bersiul. Ulangi pernapasan itu beberapa kali untuk merasakan manfaatnya.
Semakin peka perasaan yang kita miliki, semakin mudah kita memahami isi hati orang lain. Dengan demikian, kita tak hanya bisa berkomunikasi dengan lebih baik, tetapi juga belajar memandang segala sesuatu lewat perasaan orang lain. Jadi, keluhan, seperti “Kamu peka sedikit dong!”, bisa saja akan jarang terdengar lagi dari bibir lawan bicara kita.
Artikel sebelumnya: "Mengapa Kamu Susah Menabung?" dan "Ingin Tetap "Sehat" Tanpa Harus Pergi ke Gym atau CFD? Meditasi saja!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H