Setelah semua proses pada tahap Eksplorasi selesai dilakukan, kita bisa lanjut ke tahap Eksploitasi. Tahap Eksploitasi meliputi (1) melakukan sertivikasi cadangan, (2) menyusun Plan of Development (PoD), (3) mengimplementasikan PoD, (4) mengembangkan teknologi, (5) pengeboran pengembangan, dan (6) facility maintance.
Secara singkat, tahap Ekspoitasi lebih bersifat pengolahan. Ibarat sebuah pabrik, tahap Eksploitasi berada dalam “wilayah produksi”. Pada tahap produksi, kita membangun fasilitas produksi yang bertujuan mengangkat migas dari bawah tanah. Proses pengangkatan bisa berlangsung secara alami atau buatan. Migas yang sudah diangkat kemudian dipisahkan oleh separator dan disimpan di tangki. Proses tersebut bisa menghabiskan waktu 6 bulan sampai 3 tahun.
Sampai sejauh ini, kita telah mengetahui betapa kompleksnya proses di sektor hulu migas. Proses tersebut menyita banyak waktu, tenaga, dan ongkos. Belum lagi muncul pelbagai persoalan sewaktu kita menjalani proses tersebut. Persoalan yang timbul dalam pengelolaan industri hulu migas di antaranya adalah rendahnya ketertarikan kontraktor.
Pemerintah, selaku penyedia lahan, mengaku sulit merayu kontraktor berpengalaman dan ber-“kantong tebal” untuk menanamkan modalnya di titik-titik sumber migas yang tersedia. Situasi tersebut bertambah sulit lantaran harga minyak di pasaran saat ini mengalami penurunan. Akibatnya, kontraktor cenderung menahan diri untuk menginvestasikan modalnya sambil mengamati perubahan kondisi perdagangan minyak dunia.
Selain itu, masalah perizinan pun masih sering “menghantui” kegiatan usaha hulu migas. Untuk memulai proyek di industri hulu, kontraktor harus mengurus beragam surat perizinan, seperti Izin Prinsip Melakukan Pekerjaan Eksplorasi Migas, Izin MemasukiOpen Area (persetujuan berbarengan dengan persetujuan AFE/WP&B), dan Pembebasan Tanah dan Sertifikasi. Secara keseluruhan, kontraktor harus menyelesaikan sebanyak 24 perizinan. Sementara kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi saja belum dilakukan, waktu dan biaya yang terpakai sudah sedemikian banyak. Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah itu adalah “sistem satu pintu”. Dengan menerapkan strategi tersebut, sistem perizinan dapat terintegrasi dengan baik, dan kontraktor mampu menghemat waktu kerja.
Permasalahan itu tentunya membikin kontraktor merasa gentar untuk berinvestasi. Kontraktor umumnya akan berpikir ratusan kali sebelum menanamkan modalnya di sektor hulu migas. Hal itu tentunya sesuatu yang wajar dan termasuk ke dalam salah satu perilaku investasi. Dalam buku 90 Rahasia Investasi Pribadi, Elvyn G. Masassya menguraikan empat macam perilaku investasi. Pertama, investor ingin melindungi modal yang dimiliki dari inflasi. Laju inflasi memang menunjukkan tren naik. Oleh sebab itu, laju inflasi turut memengaruhi nilai suatu modal, seperti uang. Jadi, alih-alih membiarkan nilai uangnya turun tergerus inflasi, investor menginvestasikan modalnya ke dalam sejumlah instrumen. Itulah strategi, yang disebut Warren Buffett, sebagai “pelestarian modal”.
Kedua, investor ingin memperoleh pendapat yang rutin. Dari situ sudah terlihat jelas kalau investor menginginkan imbalan atas investasi yang dilakukan. Imbalan tersebut bisa berupa pembagian sisa keuntungan suatu usaha. Ketiga, investor ingin meningkatkan aset. Kalau pada perilaku yang kedua, investor hanya mengharapkan keuntungan. Pada perilaku yang ketiga, investor ingin menambah aset yang dimiliki. Secara sederhana, investor ingin “mengembangbiakkan” aset sehingga jumlahnya bertambah berkali-kali lipat. Sementara itu, keempat, investor ingin melakukan spekulasi. Dalam spekulasi, investor menginginkan keuntungan yang luar biasa besar dalam waktu singkat.
Untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif di sektor hulu migas, kita tentunya perlu mempertimbangkan keempat perilaku investasi tersebut. Dengan demikian, kita bisa menentukan strategi yang tepat untuk menarik lebih banyak kontraktor. Selain itu, menurut hemat saya, regulasi yang dilakukan pemerintah juga harus "ramah" terhadap kontraktor. Penyusunan suatu regulasi bisa berpijak pada dua pertanyaan: “Bagaimana pemerintah membuat nilai tambah di sektor hulu migas?” dan “Bagaimana pemerintah membantu meminimalkan risiko yang ditanggung kontraktor?” Kedua pertanyaan itu bisa menjadi panduan dalam menyusun “aturan main” bagi pelaku industri hulu migas.
Sebagai contoh, dalam menetapkan regulasi, pemerintah dapat menawarkan sejumlah insentif kepada kontraktor. Ibarat sebotol minuman penambah tenaga, insentif dapat menimbulkan “rangsangan” yang mampu meningkatkan iklim investasi di hulu migas, serta menarik lebih banyak calon kontraktor yang akan “bermain” di ladang migas Indonesia. Insentif tersebut bisa berupa revisi peraturan, seperti Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2010, yang dianggap terlalu “timpang” oleh kontraktor.
Kemudian, pemerintah pun bisa mempertimbangkan memperpanjang waktu pelaksanaan Eksplorasi. Sebagaimana diketahui, saat ini, kontraktor hanya diberi waktu maksimal 6 tahun untuk tahap Eksplorasi. Waktu tersebut dianggap terlalu “singkat” untuk Eksplorasi lantaran betapa sulitnya kontraktor menemukan cadangan migas yang melimpah. Belum lagi, sewaktu harga minyak tengah turun seperti sekarang ini, kontraktor tentu merasa was-was untuk melakukan Eksplorasi. Semua itu terjadi lantaran kontraktor takut mengalami kerugian kalau terus melanjutkan proyek Eksplorasi. Ibarat makan “buah simalakama”, kontraktor menjadi serba salah. Kalau kontraktor menghentikan Eksplorasi sementara waktu, durasi izin Eksplorasi yang tercantum di Kontrak Kerja Sama (KKS) tentu semakin sedikit. Sementara itu, kalau tetap diteruskan, kontraktor berpotensi mengalami kerugian besar, lantaran harga minyak dunia cenderung mengalami penurunan.