Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sukses Memelihara Kerukunan Beragama dengan Bakti Sosial

24 Agustus 2016   09:16 Diperbarui: 10 September 2016   21:59 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beragam Organisasi Kepemudaan Buddhis Menghadiri Acara Sosialisasi/ Dokumentasi Pribadi

Hal itu tentu sangat disayangkan lantaran di Tanjung Balai jarang sekali terjadi konflik yang menimbulkan amukan sedahyat itu. Warga yang tinggal di Tanjung Balai hidup dengan rukun di tengah keberagaman etnis. Kalaupun terdapat permasalahan, semua itu dapat diselesaikan dengan rasa kekeluargaan. Oleh sebab itu, sewaktu terjadi aksi pembakaran itu, warga setempat merasa terkejut.

Kemudian, kita bertanya-tanya, “Mengapa ya sebuah daerah yang penduduknya hidup akur sekian puluh tahun bisa mengalami peristiwa itu? Mengapa konflik tersebut dapat tersebar luas sehingga mematik persoalan sosial demikian? Mengapa para pemuda tersebut, yang seharusnya mampu bersikap kritis, malah berani melakukan pembakaran hanya karena termakan hasutan di media sosial?”

Dalam sebuah artikel yang berjudul “Perspektif Sosiologi Tentang Radikalisme Agama Kaum Muda”, Zuly Qodir menyebutkan empat faktor yang dapat memicu timbulnya aksi radikal di kalangan pemuda tersebut. Apa saja keempat faktor itu? Pertama, persoalan kesehatan mental. Anak muda adalah individu yang rentan terhadap tekanan hidup. 

Tekanan tersebut bisa berupa permasalahan keluarga, konflik antarteman, atau persoalan di sekolah. Tekanan yang sedemikian hebat dapat menyebabkan depresi. Kalau anak muda sudah mengalami depresi, ia cenderung akan menutup diri dari lingkungannya. Ia enggan berbicara dengan orangtuanya. 

Ia memilih menghabiskan lebih banyak waktu menyendiri di kamar alih-alih bermain keluar rumah bersama teman-teman. Saat terjadi demikian, anak muda akan mudah terpapar oleh konten-konten yang memuat radikalisme di internet dan media sosial. Apalagi kalau orangtuanya membiarkan hal itu berlangsung lama, tentu pola pikir anak cenderung terpengaruh oleh isu-isu radikalisme.

Kedua, kesenjangan ekonomi. Apabila di masyarakat terdapat jurang yang lebar antara kaum kaya dan kaum miskin, tentu akan timbul kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial yang sedemikian kuat akan memunculkan perilaku radikal, yang ditandai oleh terbentuknya kelompok-kelompok yang kerap melakukan aksi kriminal, seperti perampokan, pencurian, dan pengrusakan. Semua itu terjadi sebagai wujud protes atas ketimpangan ekonomi di masyarakat. Anak muda pun rentan tergabung dalam kelompok-kelompok tersebut. Kalau salah memilih teman, bisa-bisa anak muda menjadi bagian dari kelompok tersebut.

Ketiga, pengaruh iklim sosial-politik. Perubahan sosial-politik di masyarakat berdampak pada perilaku organisasi keagamaan. Andaikan pemerintah lalai melakukan pengawasan dan hukum abai ditegakkan, isu radikal mendapat “lampu hijau” untuk memasuki organisasi keagamaan di masyarakat. Dengan demikian, organisasi tertentu bebas mengembangkan radikalisme dan melakukan apapun tanpa merasa takut terhadap hukum yang berlaku.

Sehubungan dengan hal tersebut, kebijakan pemerintah, seperti penghapusan konten-konten berbau SARA di sejumlah situs, patut mendapat apresiasi. Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir website yang kontennya dianggap dapat memicu konflik sosial. Andaikan situs-situs tersebut dibiarkan begitu saja, setiap orang yang membacanya, terutama anak muda, akan terpancing oleh isu-isu radikal lantaran sekarang banyak anak muda berusia 15-24 tahun yang menjadi pengguna aktif internet.

Keempat, pemahaman agama yang dangkal. Saya setuju dengan ungkapan “Semua agama mengajarkan kebaikan.” Agama dapat menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan. Agama mencegah kekacauan di masyarakat. Hanya saja, kalau seseorang mempelajari ajaran agama sebatas permukaan, tentu akan timbul persoalan. 

Seseorang akan cenderung memegang konsep agama yang dianutnya sedemikian kuat dan menolak perbedaan pandangan dari agama lain. Hal itu tentunya membuat pemikiran terlalu sempit, dan selanjutnya akan memengaruhi sikap kita sewaktu berinteraksi dengan penganut agama lain. Kalau terus dibiarkan, bisa-bisa timbul sikap antipati terhadap pemeluk agama lain.

Oleh sebab itu, seminar perbandingan agama perlu sering-sering dilakukan. Seminar semacam itu tidak bertujuan mengungkap agama mana yang paling benar, tetapi memberi perspektif baru terhadap pandangan agama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun