Anak-cucu terkasih, aku bersyukur kau menemukan surat sederhana ini. Namun demikian, kalau sekarang belum tanggal 17 Agustus 2045, aku mohon kau menyimpan kembali surat ini di dalam kotak.
Dengan segala hormat, surat ini hanya boleh dibaca setelah tanggal 17 Agustus 2045, sebab makna yang terdapat dalam surat ini lebih ditujukan kepada generasi yang hidup setelah Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan.
Aku menulis surat ini sewaktu berada di dalam keretaapi, yang membawaku menyisir Pulau Jawa. Keretaapi yang kutumpangi berjalan dengan kecepatan 80 km/jam di atas rel besi, yang membelah sawah yang tengah menguning keemasan.
Keretaapi ini pun suatu saat akan pensiun. Keretaapi ini mungkin saja akan dipajang di museum atau bahkan dibuang begitu saja seperti benda sejarah lainnya, sebab, pada zamanmu, anak-cucu terkasih, keretaapi yang jauh lebih cepat akan melintasi setiap ruas rel-rel yang tersedia.
Keretaapi pada zamanmu tentunya akan menyerupai JR Maglev MLX-01 milik Jepang. Pada masaku, kereta listrik itu termaktub dalam Guinness World Record sebagai kereta tercepat di dunia.
Dengan kecepatan 581 km/jam, kereta itu mampu melesat secepat pesawat terbang! (Bahkan, saking cepatnya, kau mungkin hanya perlu memejamkan matamu sebentar dan tahu-tahu kau sudah tiba di stasiun tujuan!)
Sementara itu, pada zamanmu, kau tentu lebih mudah menuju sekolah, sebab semua moda transportasi, seperti bus, keretaapi, dan monorail, sudah terintegrasi sepenuhnya. Kau hanya harus berpindah-pindah moda transportasi di sejumlah titik tanpa harus berpanas-panasan menunggu angkot yang sering mengetem di bahu jalan atau terjebak kemacetan yang menguras banyak emosi.
Anak-cucu tercinta, perayaan Hari Kemerdekaan pada zamanmu tentulah unik. Setiap tanggal 17 Agustus, sekolah mengadakan pelbagai lomba, seperti balap karung, tarik tambang, pipa bocor, perang bantal, dan makan kerupuk. Aku merasa terhibur oleh lomba-lomba tersebut.
Kalau boleh membanggakan diri, di sekolah, aku tercatat sebagai juara bertahan lomba makan kerupuk. Aku memang mempunyai bakat khusus, terutama soal makan. Aku bisa melahap sebuah kerupuk dalam beberapa gigitan, dan semua itu membuat lawan-lawanku minder. Jadi, saat aku ikut lomba, lawan-lawanku terlihat takut oleh kerakusanku dalam melahap kerupuk.
Aku membayangkan jangan-jangan kau nanti justru akan berlomba berburu Pokemon untuk merayakan Hari Kemerdekaan! Sungguh lucu membayangkan kau pergi berkeliling taman yang dibanjiri bunga, menyusuri lorong yang gelap, dan menyeberangi jembatan kayu hanya untuk menangkap Bulbasur, Charmander, Squirtel, Rattata, Spearow, dan Pikachu. Walaupun terkesan ganjil olehku, setidaknya kau memiliki “cara baru” untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan.
Namun demikian, upacara bendera pada zamanmu mungkin saja akan sedikit berbeda. Asal kau tahu, pada masaku, Jepang sudah menciptakan robot yang dapat menggantikan beberapa peran manusia.
Walaupun terbuat dari logam, kabel, dan sistem, robot tersebut tampak lebih manusiawi lantaran kita dapat berbicara dengannya. Robot tersebut bahkan mampu merawat orang-orang yang sudah uzur, seperti Baymax dalam film Big Hero 6.
Anak-cucu terkasih, saat menulis surat ini, usiaku sudah kepala enam. Mungkin saja sewaktu kau membaca setiap kalimat di surat ini, aku sudah menyelesaikan tugasku di dunia.
Namun, aku bisa merasa sedikit lega sewaktu meninggalkan dunia yang fana ini lantaran aku bisa menyapa dan membagi sedikit kisah kepadamu.
Waktu ternyata tidak bisa membatasi pertemuan kita.
Aku tidak akan menyampaikan nasihat kepadamu. Aku bukanlah orang yang suka memberi nasihat. Justru sebaliknya aku merasa seharusnya akulah yang menerima lebih banyak nasihat dari orang lain lantaran aku masih saja sering membikin kesalahan dalam hidup.
Namun, bagaimanapun, aku tetap mensyukuri semua kesalahan yang pernah kuperbuat lantaran kesalahan tersebut turut memperkaya hidupku.
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” ujar Bung Karno. Semoga kau selalu mengingat pesan itu di dalam memorimu. Dari jauh aku selalu mendoakan kesejahteraan, kesehatan, dan kebahagiaanmu. Semoga kau dapat meneruskan semangat kebhinekaan yang menjadi spirit bangsa kita. Sekali merdeka tetaplah merdeka! Jaya terus bangsa Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H