Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Khawatir Anak Putus Sekolah

9 Agustus 2016   09:09 Diperbarui: 11 Agustus 2016   08:54 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nurlela terlihat cekatan mengaduk cairan gula aren, yang mendidih di atas kuali hitam. Dengan perapian yang bersumber dari kayu bakar, di dalam kuali, cairan gula aren yang berwarna hijau kehitaman itu mengeluarkan gelembung uap.

Tentunya sudah dapat dibayangkan betapa panasnya sewaktu kita membikin gula aren dengan cara seperti itu. Namun, Nurlela menghalau uap panas itu dan terus bekerja di dapur belakang rumah kakek-neneknya.

Setelah jadi, ia pun membantu kakek-neneknya berjualan gula aren. “Sehari bisa dapat 50.000 rupiah,” tuturnya sewaktu wartawan bertanya soal hasil berjualan gula aren.

Itu adalah kegiatan yang rutin dijalankan Nurlela setelah ia mengalami putus sekolah. Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi terbentur oleh persoalan biaya. Akhirnya gadis cilik yang berdomisili di Polewali Mandar, Sulawesi Barat itu pun harus bekerja membantu kakek-neneknya sebagai penjual gula aren.

Sementara itu, di Buleleng, Bali, Luh Suryani harus “turun tangan” menyokong ekonomi keluarganya. Pagi-pagi ia sudah keluar dari rumahnya yang sederhana dan berjalan menuju perkebunan cengkeh terdekat. Bersama dengan anak-anak lainnya, ia bekerja sebagai buruh pemungut cengkeh.

Dengan cekatan ia memunguti butiran-butiran cengkeh. Satu demi satu butiran cengkeh yang tersebar di antara rumput dipungut. Kemudian, ia pun menyimpannya di kantong yang sudah disiapkan. Setelah terkumpul satu-dua kilo cengkeh, ia harus membawa cengkeh-cengkeh itu ke pengepul. Dari kegiatan itu ia mendapat upah 30.000 rupiah perkilo.

Seperti Nurlela, ia pun terpaksa melewatkan kesempatan untuk mengeyam pendidikan akibat keterbatasan biaya. Ia mengalami putus sekolah lantaran keluarganya “angkat tangan” menanggung biaya pendidikannya. Jadi, saat teman-temannya tengah belajar di kelas, ia pun harus bekerja supaya dapur keluarganya tetap mengepul.

Hal serupa juga dialami oleh Ima, seorang anak berusia empat tahun yang bekerja sebagai penjual tisu di Jakarta. Sehari-hari ia berjalan berkeliling menawarkan tisu di pusat-pusat keramaian, seperti tempat makan. Dengan membawa keranjang tisu yang disangkilkan di tubuhnya, ia berjalan di sela-sela keramaian untu menjual tisu. Semua itu dilakukannya untuk membantu kedua orangtuanya.

Apa yang dialami oleh Nurlela, Luh Suryani, dan Ima adalah potret kecil kehidupan anak-anak yang terpaksa putus sekolah. Akibat keterbatasan dana, mereka harus kehilangan “kesempatan emas” untuk menimba ilmu di sekolah. Hal itu tentunya sangat disayangkan.

Sumber Kekuatan Anak Bangsa

Padahal, pendidikan sebetulnya adalah sumber kekuatan anak bangsa. Sudah banyak orang-orang sukses berkat pendidikan yang berkualitas. Salah satunya adalah Ken Kawan Soetanto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun