Tayangan video berikut ini menampilkan hari pertama sekolah di sebuah SD di Singapura.
Pada tayangan video itu terlihat anak-anak berumur sekitar enam tahun datang didampingi oleh orangtuanya. Dengan tertib anak-anak tersebut mengikuti pelajaran di kelas.
Pelajaran dimulai dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan seperti menggambar. Anak-anak itu tampak asyik membolak-balik buku gambar. Kemudian, pada saat mengambil makanan pun, anak-anak diajarkan supaya berbaris dengan tertib. Anak-anak diarahkan supaya memiliki kesadaran sosial dan ketertiban sejak dini. Sebuah langkah sederhana yang sangat mendidik!
Dalam tayangan video itu, orangtua pun terlibat penuh. Bahkan, tampak seorang ibu telaten mendampingi anaknya sambil menggendong bayi. Oleh sebab itu, interaksi di kelas tak hanya melibatkan guru, tetapi juga mengikutsertakan orangtua selama proses belajar.
Sekilas hari pertama di sekolah tersebut mirip dengan hari pertama sekolah di Indonesia. Sebagaimana diketahui, hari pertama sekolah dimulai sejak tanggal 18 Juli. Di sebuah sekolah dasar, saya mengamati betapa banyaknya orangtua yang datang mengantar anaknya ke sekolah. Mayoritas orangtua datang menggunakan sepeda motor sehingga jalanan menuju sekolah mengalami kemacetan pada pukul 07.00.
Diantar Oleh Sukarelawan
Pemandangan berbeda tampak pada jenjang yang lebih tinggi. Pada jenjang SMP dan SMA, misalnya, keterlibatan orangtua dalam mengantar anaknya ke sekolah terlihat berkurang. Bahkan, dalam tayangan video berikut, sepasang siswi di Malaysia malah diantar ke sekolah oleh sukarelawan pada hari pertama masuk sekolah.
Pada tayangan video tersebut tampak dua siswi berhijab putih harus menempuh jarak yang jauh ke sekolahnya. Mereka sudah berangkat pagi-pagi sekali dan ditemani dua orang sukarelawan Tzu Chi.
Sukarelawan itu membimbing mereka ke sekolah yang dituju, mencarikan bis yang akan mereka tumpangi, dan memastikan mereka tiba di sekolah tepat pada waktunya. Sebuah pemandangan unik yang jarang terlihat.
Siswa-siswi SMP dan SMA di indonesia pun demikian. Mereka umumnya berangkat sendiri-sendiri, terutama yang sudah kelas 2 dan 3. Pada beberapa kesempatan, saya bahkan melihat siswi SMP diantar oleh sopir ojek, dan bukannya oleh orangtuanya. Hanya siswa kelas 1 yang mayoritas masih diantar oleh orangtuanya ke sekolah.
Digantikan Oleh Teman Sebaya
Sewaktu mulai bersekolah, pengaruh orangtua terhadap anak perlahan-lahan mulai tergantikan oleh teman sebaya. Teman sebaya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tumbuh-kembang anak di sekolah.
Dalam buku Psikologi edisi 9, Carole Wade dan Carol Tavris menjelaskan bahwa teman sebaya dapat memengaruhi sikap dan tindakan anak, dan terkadang pengaruh tersebut bertentangan dengan kehendak orangtua.
Sebagai contoh, orangtua menginginkan anaknya supaya rajin belajar. Orangtua sudah membicarakan, menasihati, dan mendorong supaya anaknya membuka buku atau mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Namun, kalau di kelas ia lebih banyak bergaul dengan teman-teman yang lebih senang main game Pokemon Go daripada belajar, maka ia akan mengabaikan semua saran itu. Ia pun akan ikut-ikutan main game tesebut supaya mendapat pengakuan dari teman-temannya.
Pengaruh tersebut tentunya dapat dicegah sedini mungkin. Sebagai orangtua, kita harus mengajarkan anak supaya pandai memilih teman. Anda mungkin bertanya, “Apakah itu artinya saya harus membatasi pergaulan anak?”
Bukan. Justru saya menganjurkan sebaliknya. Doronglah anak berkenalan dengan banyak teman. Namun, pastikan hanya anak-anak yang perilakunya baiklah yang menjadi sahabatnya. Oleh sebab itu, kita harus mengetahui dunia pergaulan anak.
Bukan hanya membawa anak sampai ke gerbang sekolah pada hari pertama masuk sekolah. Bukan pula hanya mengenal wali kelas yang menjadi orangtua anak di sekolah.
Namun, mengantar anak ke sekolah juga berarti orangtua mengenal teman-teman anaknya di kelas.
Media sosial, seperti facebook, twitter, dan whatsapp, dapat membantu orangtua dalam memonitor pergaulan anak-anaknya. Jadi, dengan menjalin pertemanan di media sosial, orangtua dapat mengetahui siapa-siapa saja temannya beserta latar belakangnya.
Selama ini terdapat pandangan bahwa kunci sukses pendidikan seorang anak terletak pada sinergi yang baik antara anak, orangtua, dan sekolah. Menurut hemat saya, sinergi tersebut akan jauh lebih lengkap kalau disertai unsur teman sebaya. Oleh sebab itu, pengaruh teman sebaya pun harus dipertimbangkan untuk menyukseskan pendidikan anak di sekolah.
(Apabila Anda tertarik, silakan baca juga tulisan saya lainnya Fobia Sekolah dan Supaya Anak Mood ke Sekolah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H