Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Gandrung Pokemon Go & Kesehatan Mental Remaja

14 Juli 2016   09:29 Diperbarui: 15 Juli 2016   08:11 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.kaltim.tribunnews.com

Sudah seminggu ini game Pokemon Go menjadi pembicaraan hangat di media sosial. Pokemon Go adalah sebuah game keluaran Nintendo, yang sudah dirilis di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Australia. Sejak diperkenalkan ke masyarakat, game reality tersebut segera menarik perhatian lantaran menawarkan konsep permainan yang unik.

Untuk memainkannya, kita harus berkeliling ke luar ruangan mencari pokemon yang berada di sudut ruang tersebut. Dengan terhubung oleh GPS, kita dapat mendeteksi keberadaan monster virtual tersebut, dan melihat sosoknya di handphone. Setelah bertemu dengan monster tersebut, kita harus mengalahkan dan mengurungnya di dalam bola.

Banyak remaja di Amerika Serikat yang gandrung memainkan game tersebut. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam berburu monster di berbagai tempat, seperti taman kota, jalanan, atau jembatan.

Saking seringnya para remaja memainkan game tersebut, popularitas game tersebut melejit dalam waktu singkat. Bahkan kini game tersebut bersaing dengan twitter dan snapchat, sebagai aplikasi yang sering digunakan.

Seperti game pokemon tersebut, kehidupan remaja memang selalu saja menarik. Selalu saja terdapat kisah unik yang menjadi bahan pembicaraan. Cerita tersebut tentunya beragam. Ada yang manis. Ada pula yang pahit.

Namun, kita lebih sering membicarakan kisah pahit dalam kehidupan remaja. Berita-berita yang disiarkan media masa, seperti televisi, koran, dan situs berita, kerap mengangkat cerita tersebut.

Tiga Persoalan Remaja

Remaja memang mempunyai persoalannya sendiri. Dengan mengutip hasil penelitian Spear pada tahun 2000, dalam buku Psikologi edisi 9, Carole Wade dan Carol Tavris menyebutkan tiga persoalan yang cenderung muncul pada masa remaja. Apa sajakah ketiga persoalan tersebut?

Pertama, terjadi konflik dengan orangtua. Berdasarkan pengalaman, pada usia 10-18 tahun, tentunya kita pernah mempunyai masalah besar dengan orangtua. Masalah tersebut berawal dari perbedaan pandangan antara diri kita dan orangtua.

Sebagai contoh, kita mungkin pernah dilarang pergi ke sebuah pesta ulang tahun teman oleh orangtua kita. Alasannya sederhana, bahkan cenderung klise: takut pergaulan bebas. Padahal, kita betul-betul ingin menghadiri acara tersebut.

Pada saat itu terjadilah sebuah konflik antara kita dan orangtua. Kalau kedua pihak sama-sama ngotot, konflik tersebut akan menjadi runcing, sehingga berpotensi menyakiti perasaan kedua belah pihak.

Kedua,mood atau suasana hati cenderung labil. Emosi seorang remaja itu seperti cuaca, yang terus saja berubah-ubah sepanjang hari. Terkadang bisa panas menyengat. Terkadang dapat juga sedingin es.

Ketidakstabilan emosi tersebut bersumber pada pengaruh fisiologi dan psikologis. Berdasarkan pengaruh fisiologis, misalnya, struktur otak seorang anak mengalami perubahan sewaktu anak tersebut beranjak remaja. Perubahan tersebut terjadi pada korteks prefrontal, yang berfungsi mengendalikan emosi. Terjadi pemangkasan sinapsis pada korteks tersebut dan hal itu menyebabkan seorang remaja cenderung lebih emosional.

Kemudian, berdasarkan pengaruh psikologisnya, seorang remaja kurang terampil mengelola emosinya lantaran tidak dibekali oleh kecakapan emosi yang baik. Remaja tidak mengetahui cara terbaik untuk melepaskan emosi negatif, seperti marah, stres, dan sedih, yang dialaminya. Akibatnya, ia kerap kali melampiaskan emosi tersebut lewat ucapan kasar dan tindakan yang agresif.

Ketiga, remaja cenderung melakukan tindakan ceroboh. Remaja mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Namun demikian, kalau tidak dibimbing dengan baik, rasa ingin tahu tersebut bisa berbuah bencana. Perhatikanlah perilaku remaja, yang gemar menenggak alkohol. 

Awalnya seorang remaja mungkin melihat teman-temannya asyik meminum alkohol. Ia pun merasa tertarik dan ingin mencicipi rasa alkohol tersebut. Apalagi teman-temannya menantangnya menghabiskan sebotol alkohol. Ia kemudian mencoba meminum alkohol tersebut, merasa senang, dan akhirnya ketagihan meminum alkohol.

Karena berada di bawah pengaruh alkohol, remaja tersebut dapat melakukan perbuatan asusila, seperti dalam kasus Y yang sempat menjadi trending topik di media massa beberapa bulan yang lalu. (Selengkapnya Anda bisa membaca kasus Y pada tulisan saya yang berjudul Empati dalam Edukasi Seks di Sekolah).

Dua Solusi

Semua persoalan tersebut bisa diselesaikan dengan sejumlah cara. Pada tulisan ini, saya akan menjelaskan dua cara yang dapat diterapkan supaya persoalan remaja dapat berkurang.

Pertama, orangtua harus terlibat aktif mengedukasi anak sejak usia dini. Saya sungguh setuju dengan ungkapan bahwa orangtua adalah guru pertama seorang anak. Biarpun tidak berprofesi sebagai guru, setidaknya orang tua harus mengetahui dasar-dasar dalam mendidik anak.


Saya ingat pernah membaca sebuah artikel di harian Kompas, yang memuat edukasi seks di rumah. Walaupun seks adalah topik yang masih tabu dibicarakan, edukasi seks harus diterapkan, supaya anak mengenal apa itu seks dan fungsinya demi keberlangsungan umat manusia.

Di dalam artikel tersebut, seorang ibu mengajari anaknya untuk mengenal organ reproduksi. Ibu tersebut memberi tahu nama kelamin tersebut kepada anaknya, dan menjelaskan batasan-batasan terkait organ kelamin tersebut.

Walaupun butuh keterampilan untuk mengomunikasikannya, edukasi semacam itu sangat penting. Dengan mengenal organ reproduksinya sejak dini, seorang anak akan mampu merawat kesehatan organ reproduksi tersebut dengan baik. Setelah tumbuh remaja, ia pun akan mengetahui penerapan etika terhadap fungsi organ tersebut.

Kedua, orangtua harus mengawasi pergaulan anak remajanya. Ketika memasuki usia remaja, seorang anak cenderung meniru sikap teman-teman di sekitarnya. Carole Wade dan Carol Tavris, dalam buku Psikologi edisi 9, menjelaskan bahwa  teman sebaya berpengaruh kuat terhadap perilaku seorang remaja.

Oleh karena itu, kalau mempunyai teman-teman yang berperilaku santun, seorang remaja pun cenderung akan berperilaku santun. Pun sebaliknya, kalau sering berkumpul dengan teman-teman yang suka berkata kasar, anak pun akan ikut-ikutan berkata kasar.

Media sosial, seperti facebook, twitter, dan whatsapp, dapat membantu orangtua dalam memonitor pergaulan anak-anaknya. Jadi, dengan menjalin pertemanan di media sosial, orangtua dapat mengetahui siapa-siapa saja temannya beserta latar belakangnya.

Hanya saja, pastikan bahwa orangtua mempunyai hubungan baik dengan anak sehingga memiliki akses untuk mengetahui kehidupan pribadinya. Jangan sampai terjadi kasus bahwa orangtua di-ignore oleh anaknya sendiri di media sosial, lantaran terlalu kepo terhadap kehidupan pribadi anaknya.

Seperti sudah disinggung pada awal tulisan ini, fase remaja adalah fase yang krusial. Pada fase tersebut, seorang anak sedang mencari jati dirinya. Pengaruh hormon dan sosial turut pula membentuk jati dirinya. Oleh sebab itu, kalau timbul persoalan dalam diri seorang remaja, kita harus belajar memahami kehidupannya. Kita perlu mengetahui sebab utama permasalahan tersebut, sehingga kita dapat mengetahui solusi terbaik untuk menyelesaikannya.

(Apabila Anda tertarik, silakan baca juga artikel saya lainnya, yaitu Takut Menikah Muda)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun