Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Fobia Sekolah

18 Juli 2016   09:11 Diperbarui: 18 Juli 2016   09:49 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Pemandangan berbeda terlihat di SDN Harapan Baru III & V Bekasi pada awal Tahun Ajaran 2016/2017. Sejumlah orangtua, yang mayoritas ibu-ibu, datang mengantar anaknya pada hari pertama masuk sekolah.

Ibu-ibu tersebut tampak duduk-duduk di sekitar ruang kelas tempat anaknya belajar. Sambil menunggu anaknya masuk kelas, ibu-ibu tersebut menghabiskan waktu dengan bersosialisasi dengan orangtua lainnya. Kegiatan tersebut sudah berlangsung sejak pukul 07.00 WIB tadi.

Kehadiran orangtua di sekolah tentunya menjadi semacam motivasi supaya anak-anak dapat beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Kehadiran orangtua memberi perasaan aman dan nyaman pada anak dalam berinteraksi di kelas. Hal itu penting dilakukan oleh orangtua terutama kalau anaknya mempunyai sifat pemalu dan tertutup.

Saya ingat pernah mendengar beberapa kasus bahwa anak TK atau SD merasa takut terhadap lingkungan baru. Anak-anak tersebut kemudian menuntut minta pulang kepada pengantarnya pada awal pelajaran lantaran kurang nyaman berada di tempat yang baru dikenalnya. Bahkan, pada beberapa kasus, anak sampai menangis dan menolak kembali ke sekolah keesokan harinya.

Semua itu terjadi lantaran anak belum mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Anak belum siap keluar dari zona nyamannya dan memiliki keberanian untuk mengenal orang-orang yang baru dijumpainya. Oleh sebab itu, anak merasa terasingkan dari sekelilingnya. Apalagi anak tersebut dijauhi teman-teman sekelasnya karena mereka belum mengenalnya atau di-bully oleh anak-anak lainnya.

Fobia Sosial

Ketakutan tersebut tentunya sesuatu yang lumrah terjadi. Namun demikian, apabila ketakutan tersebut terus berlanjut, hal itu tentunya akan menimbulkan masalah baru, yaitu sebuah fobia.

Fobia adalah ketakutan dan kecemasan berlebihan terhadap sesuatu. Carole Wade dan Carol Tavris menyebut beberapa macam fobia, seperti fobia terhadap hewan, fobia terhadap tempat-tempat tinggi (acrophobia), fobia terhadap petir (brontophobia), dan fobia saat berada di ruang tertutup (claustrophobia).

Fobia lainnya adalah fobia sosial, yaitu sebuah kekhawatiran saat berada di tengah khalayak ramai. Fobia tersebut banyak dijumpai pada saat seseorang akan berbicara di depan banyak orang, atau menyanyi di atas panggung. Nah, fobia anak terhadap sekolah bisa dikategorikan sebagai fobia sosial.

Fobia bukanlah penyakit mental yang bersifat permanen. Fobia dapat diatasi dengan menerapkan sejumlah cara. Salah satunya adalah hipnoterapi. Sekarang hipnoterapi sudah menjadi pelengkap pengobatan medis untuk mengatasi persoalan pikiran.

Hipnoterapi telah diterapkan untuk menetralisir trauma pada masa lalu, perilaku impulsif, kecemasan yang akut, dan bahkan kecanduan terhadap zat adiktif. Hipnoterapi pun dapat mengatasi kecemasan anak terhadap sekolah.

Tidak semua orang bisa melakukan hipnoterapi dengan tepat. Hipnoterapi harus dilakukan oleh orang-orang yang sudah ahli dan memiliki sertifikat sebagai hipnoterapis dari lembaga yang diakui. Oleh sebab itu, kalau ingin mengikuti sesi hipnoterapi, kita harus memilih hipnoterapis yang kompeten supaya penyembuhan dapat berjalan dengan maksimal.

Selain itu, ongkos yang harus dikeluarkan untuk sesi terapi juga harus dipertimbangkan lantaran satu sesi bisa memakan biaya yang tinggi, bergantung pada tempat dan hipnoterapisnya. Jadi, kita harus menyiapkan anggaran khusus kalau ingin menjalani terapi tersebut.

Komunikasi yang Baik

Namun demikian, kita tidak perlu berkecil hati. Kita dapat memanfaatkan prinsip-prinsip hipnoterapi untuk menyelesaikan persoalan fobia anak terhadap lingkungan sekolah.

Prinsip hipnoterapi, salah satunya, adalah komunikasi. Sebagai orangtua, kita harus menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Kita harus memilah kalimat pada saat berbicara dengan anak. Usahakanlah berbicara dengan kalimat-kalimat yang memotivasi anak, sehingga mental anak yang sehat pun akan terbangun.

Anak akan menyerap kata-kata kita dalam pikiran bawah sadarnya karena memandang kita sebagai figur otoritas. Anak akan menuruti anjuran-anjuran yang kita sampaikan semampu mereka.

Selain itu, kehadiran orangtua di sekolah pun turut memperkuat keberanian anak. Percuma saja kita memotivasi anak supaya tampil percaya diri, tetapi kemudian kita meninggalkannya sendiri di lingkungan yang masih asing baginya. Anak tetap akan takut bersekolah, dan semua kata-kata kita akan ditolak karena mulai timbul ketidakpercayaan dalam diri anak. Oleh sebab itu, aksi nyata yang diperlihatkan orangtua jauh lebih berdampak daripada sekadar kata-kata.

Komunikasi dengan wali kelas dan kepala sekolah pun dibangun. Jangan sampai kita hanya bertugas mengantar dan menjemput anak di sekolah tanpa pernah peduli soal perkembangan anak.

Sebagai orang yang pernah berkecimpung dalam dunia pendidikan, saya sudah sering menjumpai kasus demikian. Orangtua hanya mengetahui bahwa anaknya berperilaku baik di rumah.

Namun, begitu dipanggil oleh pihak sekolah lantaran anaknya kerap berbuat onar di kelas, orangtua menolak kejadian tersebut dan malah menyalahkan sekolah. Hal itu tentunya menunjukkan bahwa telah terjadi miskomunikasi antara orangtua dan pihak sekolah.

Belum lagi kasus lain yang beberapa waktu lalu muncul di media masa, seperti pelecehan seksual, aksi bully, sampai kasus cubit-mencubit di sekolah adalah isu yang harus mendapat perhatian dari orangtua.

Oleh sebab itu, agar terhindar dari hal-hal demikian, orangtua dan sekolah harus menjalin komunikasi yang erat. Bentuk komunikasinya pun bermacam-macam seperti pemberitahuan via sms, telepon,  rapat orangtua siswa, atau grup media sosial.

Berkat sinergi yang kuat antara orangtua dan pihak sekolah, persoalan yang muncul di sekolah, seperti ketakutan anak bersekolah, tentunya dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian, sekolah bisa menjadi sebuah tempat yang menyenangkan sesuai dengan visi Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara saat mendirikan Taman Siswa.

(Kalau Anda tertarik, silakan baca artikel saya lainnya, yaitu Empati dalam Edukasi Seks di Sekolah dan Takut Menikah Mudaatau Mengenalkan Perbedaan Gender di Museum Tubuh)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun