Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Takut Menikah Muda?

13 Juli 2016   10:08 Diperbarui: 18 Juli 2016   09:20 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanyaan yang sering membikin cemas para lajang saat acara kumpul-kumpul bersama keluarga adalah “Kapan nikah?” Sebuah pertanyaan sederhana dan singkat, tetapi butuh waktu yang lama untuk bisa menjawabnya.

Pertanyaan tersebut sering membuat hati risih, terutama yang belum mempunyai pasangan alias pacar. Bagi yang sudah mempunyai pacar sekali pun, pertanyaan tersebut bisa menimbulkan perasaan kurang nyaman di hati, lantaran belum tentu kekasih yang dimiliki saat ini berniat lanjut ke jenjang pernikahan.

Pertanyaan tersebut memang kerap muncul dalam budaya masyarakat kita. Secara tersirat, pertanyaan tersebut menunjukkan pola pikir masyarakat yang mengharuskan setiap lajang supaya segera mencari pasangan dan membina keluarga. Dalam masyarakat kita, pernikahan seolah bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah kewajiban, berbeda dengan masyarakat Barat yang mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihannya.

Hal itu sejalan dengan pemaparan Carole Wade dan Carol Tavris. Dalam buku Psikologi (edisi kesembilan), mereka menjelaskan bahwa pernikahan yang terjadi pada masyarakat Timur lebih didasari oleh alasan eksternal, seperti status keluarga dan ekonomi, daripada perasaan cinta terhadap pasangan tersebut.

Fakta tersebut tentunya dapat kita buktikan berdasarkan pengalaman langsung. Perhatikanlah pernikahan kakek-nenek atau papa-mama kita. Kita bisa bertanya pada usia berapa mereka menikah dan alasan apa yang mendasari mereka menikah.

Mayoritas pasti menjawab pada usia remaja, sekitar umur 14-23 tahun bagi wanita, dan usia 20-30 tahun bagi pria. Sementara itu, mereka memilih menikahi seseorang dengan alasan utama keamanan finansial. Sedikit sekali yang menjawab atas dasar cinta sebagai alasan utama pernikahan mereka.

Namun, kini perilaku tersebut sudah banyak berubah. Sekarang sudah banyak orang yang menikah pada usia tiga puluhan atau bahkan di atasnya. Mereka umumnya tinggal di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Mereka menunda pernikahan sekian tahun lantaran sibuk bekerja.

Sebagai contoh, perhatikanlah kehidupan wanita karier saat ini. Mereka sudah tidak tertarik menikah pada usia dini. Mereka lebih senang melanjutkan pendidikan atau meniti karier di perusahaan daripada buru-buru membina rumah tangga dan mengurus anak.

Beberapa bahkan memilih membujang seumur hidup lantaran sudah merasa nyaman dengan hidupnya sekarang. Mereka sudah puas hidup bersama teman-teman dan keluarganya saja. Itu adalah sebuah pilihan hidup yang harus dihormati.

Walaupun demikian, mayoritas masyarakat belum bisa menerima perubahan tersebut. Masyarakat masih saja menganjurkan anak-anaknya menikah semuda mungkin. Tidak jarang mereka bahkan sampai menjodohkan anaknya supaya buru-buru menikah.

Kasus Kematian Ibu saat Melahirkan

Pernikahan dini seperti itu tentunya mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Namun demikian, sisi negatifnya cenderung lebih banyak daripada sisi positifnya. Salah satunya adalah kesehatan organ reproduksi wanita. Saat tubuh seorang wanita belum siap mengandung dan melahirkan seorang bayi, tentunya hal itu menimbulkan permasalahan (selengkapnya, silakan baca tulisan saya yang berjudul Empati dalam Edukasi Seks di Sekolah).

Berdasarkan data dari kementerian kesehatan, tercatat bahwa angka kematian ibu saat proses melahirkan masih tergolong tinggi. Pada tahun 2012 saja angka kematian tersebut mencapai 259 per 100.000 kelahiran hidup (http://depkes.go.id, diakses pada 2 Juli 2016). Angka tersebut sebetulnya turun dari tahun sebelumnya, tetapi tidak terlalu signifikan. Penyebab kematian tersebut pun beragam. Namun, penyebab utamanya adalah pendarahan yang terjadi pada proses persalinan.

Kemudian, berdasarkan demografi penduduknya, angka kematian lebih banyak terjadi pada ibu-ibu muda yang tinggal di pinggir kota atau desa. Menurut data Unicef Indonesia tahun 2012, semua itu terjadi salah satunya lantaran ibu-ibu yang tinggal di pinggir kota atau desa kurang mendapat edukasi dalam merawat kesehatannya selama kehamilan dan persalinan (http://unicef.or.id, diakses pada 2 Juli 2016).

Berdasarkan data tersebut, penikahan pada usia dini tentunya bukan pilihan yang bijaksana. Pernikahan tersebut berpotensi mengganggu sistem reproduksi terutama pihak wanita. Pernikahan tersebut pun dapat pula menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya kematian pada ibu, yang jumlahnya masih banyak di Indonesia.

Belum lagi, persoalan lain yang akan muncul adalah belum matangnya emosi seseorang dalam menjalani pernikahan. Seseorang yang menikah pada usia dini cenderung belum stabil secara emosional. Oleh sebab itu, besar kemungkinan terjadi pertengkaran yang dapat memicu perceraian dalam pernikahan.

Semua itu terjadi karena setiap pasangan tidak dibekali keterampilan dalam mengelola emosi. Pasangan tersebut tidak diberi penjelasan tentang cara mengendalikan, mengatur, dan melepas emosi secara tepat demi menjaga keutuhan rumah tangga.

Kemudian, pasangan itu pun sama sekali tidak diberi wawasan tentang pengasuhan anak yang baik. Dalam merawat dan mendidik anak, mereka hanya meniru pola asuh yang pernah diterapkan oleh orangtua mereka dahulu. Padahal, belum tentu cara pengasuhan tersebut tepat.

www.parenting.com
www.parenting.com
Menikah adalah pilihan masing-masing orang. Setiap orang bebas menentukan pasangan hidupnya sendiri-sendiri. Namun, sebelum melangsungkan pernikahan, setiap orang harus mempertimbangkan setiap aspek dengan bijaksana, seperti kesiapan fisik dan kematangan emosional.

Supaya dapat membuat putusan pernikahan yang tepat, alangkah baiknya kalau kita berdiskusi dengan orangtua terlebih dulu. Orangtua akan memberi saran berdasarkan pengalaman yang sudah mereka dapat dalam menjalani pernikahan.

Selain itu, saran dari dunia medis pun perlu dipertimbangkan. Sebelum menikah, sebaiknya kita memeriksakan kebugaran tubuh masing-masing. Pastikan bahwa kita sehat secara fisik sehingga dapat menjalani kehidupan berumah tangga tanpa terganggu oleh pelbagai potensi penyakit jasmani yang mungkin muncul kemudian hari.

Juga, saran dari beberapa psikolog perlu mendapat perhatian. Kalau merasa sungkan datang ke psikolog, kita dapat membaca buku atau artikel tentang panduan pernikahan. Sekarang sudah banyak buku atau artikel yang memuat tips-tips menjalani pernikahan. Hanya saja, kita perlu memilih saran tersebut secara bijaksana, karena tidak semua saran tersebut cocok untuk kita jalani.

Pernikahan, kalau dijalani dengan bijaksana, bisa membawa banyak berkah. Kita akan mendapat rasa aman, peduli, dan cinta berkat pernikahan yang dikelola dengan baik. Jadi, bagi yang masih lajang, kalau masih ada yang bertanya, “Kapan nikah?”, kita dapat menjawab, “Saat fisik dan mental sudah siap!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun