Kasus pemerkosaan Y yang terjadi pada bulan April 2016 menjadi pembicaraan hangat di media sosial. Kasus tersebut berawal saat Y pulang sekolah sendirian dan dihadang oleh 14 orang pemuda di tengah perjalanan. Keempat belas pemuda tersebut kemudian memperkosa dan membunuh Y.
Jenazah Y ditemukan tiga hari kemudian dalam kondisi penuh luka. Polisi segera bertindak cepat dan berhasil menangkap 12 dari 14 pelaku kejahatan tersebut. Di depan pihak kepolisian, pelaku mengaku telah melakukan tindakan tersebut lantaran berada di bawah pengaruh alkohol dan video porno. Pada tanggal 10 Mei 2016, hakim Pengadilan Bengkulu menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada 7 pelaku.
Kasus yang kemudian menarik respon banyak pihak tersebut menjadi sebuah pintu yang membuka semua kasus kekerasan seksual terhadap anak yang marak terjadi selama ini. Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2013 saja tercatat 1.266 kasus kekerasan seksual terhadap anak (Sumber, diakses pada 7 Mei 2014). Angka tersebut tersebut tidak mewakili semua kasus kekerasan yang terjadi lantaran masih ada korban yang mungkin saja merasa malu melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya kepada pihak berwajib.
Pemerkosaan yang terjadi umumnya dimotivasi oleh beberapa alasan. Carole Wade dan Carol Tavris, dalam buku Psikologi (edisi sembilan), menjabarkan empat alasan pelaku melakukan tindak pemerkosaan. Pertama, pelaku ingin mendapat pengakuan dari kelompoknya. Tekanan yang muncul dari teman-teman untuk membuktikan kejantanannya, misalnya, bisa memotivasi seseorang untuk memperkosa. Dalam kasus Y, motivasi pelaku tampaknya tak hanya dipicu oleh pengaruh alkohol dan video porno, tetapi juga didorong oleh tekanan kelompok.
Kedua, pelaku berniat mempermalukan korbannya. Ketiga, pelaku mempunyai rasa permusuhan dengan korbannya. Kedua alasan tersebut disebabkan oleh kebencian pelaku terhadap korban, sehingga pelaku tega menodai korban untuk membalas dendam. Sementara itu, alasan empat, yaitu pelaku ingin memperoleh kesenangan sadistik dari menyakiti korbannya, adalah motivasi utama para psikopat dalam menjalankan aksi bejatnya.
Minimnya Empati
Semua tindak kekerasan tersebut muncul lantaran minimnya perasaan empati dalam diri pelaku. Pelaku tidak merasa kasihan terhadap korbannya. Bahkan, pelaku pun tidak merasa bersalah telah melakukan perbuatan tersebut.
Korteks prefrontal adalah bagian otak yang berfungsi mengungkapkan emosi, berinteraksi dengan sistem limbik, dan merasakan empati. Oleh sebab itu, orang yang terganggu korteks prefrontalnya cenderung bersikap antipati, dan hal itu bisa memicu kekerasan seksual terhadap orang lain.
Sementara itu, faktor mental bersifat memengaruhi seseorang secara psikologis untuk melakukan tindak pemerkosaan. Daniel Goleman, dalam buku Kecerdasan Emosional, menerangkan bahwa perasaan negatif seperti kesepian dan depresi menjadi pemicu seseorang berbuat asusila. Perasaan tersebut mendorong seseorang melakukan perbuatan tercela, seperti pelecehan seksual, tindak pemerkosaan, atau perilaku seksual yang menyimpang.
Pengajaran Empati
Berdasarkan pemaparan tersebut, tentunya kita perlu mempertimbangkan pengajaran empati dalam upaya mengatasi kasus kekerasan seksual tersebut. Oleh sebab itu, pengajaran empati tentunya harus disertakan terutama pada edukasi seks di sekolah-sekolah.
Walaupun seks adalah sebuah topik yang masih dianggap tabu dibicarakan, sejumlah sekolah kini sudah berani memfasilitasi edukasi seks kepada murid-muridnya. Sekolah umumnya menghadirkan narasumber yang berasal dari dunia medis untuk menyampaikan edukasi tersebut. Dengan demikian, edukasi seks yang dilakukan selama ini pun lebih menitikberatkan pada aspek fisik semata.
Siswa hanya diberi penjelasan tentang kinerja sistem reproduksi dan berbagai macam jenis penyakit kelamin yang menular. Jarang sekali siswa mendapat informasi tentang metode teruji untuk mengelola energi seksual secara tepat dan menumbuhkan empati terhadap sesama dari narasumber yang didatangkan. Padahal, informasi tersebut sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual yang baru. Oleh sebab itu, edukasi seks berbasis empati perlu diselenggarakan di sekolah.
Edukasi tersebut dapat diawali dengan melatih kesadaran diri. Kesadaran diri adalah kepekaan terhadap setiap perasaan yang muncul. Saat mempunyai kesadaran diri yang kuat, kita mampu memonitor perasaan dari waktu ke waktu. Saat energi seksual muncul, misalnya, kita mampu menyadarinya sehingga kita bisa memilih respon untuk melepas emosi tersebut secara tepat.
Ada beragam cara untuk melepas emosi tersebut secara lebih baik. Salah satunya adalah menulis ekspresif. Minggu lalu saya mengikuti sebuah kelas tentang pengelolaan emosi. Di kelas tersebut, saya tak hanya belajar tentang seluk-beluk emosi dan dampaknya bagi kehidupan, tetapi juga melepas emosi negatif secara lebih bijaksana.
Dengan diiringi musik relaksasi, peserta mulai menulis. Di tengah sesi, mayoritas peserta mulai terisak. Kegiatan tersebut tampaknya sudah membetot emosi negatif yang terpendam di pikiran bawah sadar. Setelah selesai, instruktur meminta komentar, dan sebagian besar mengaku merasa lebih lega usai mencurahkan perasaannya lewat tulisan.
Edukasi seks berbasis empati di sekolah adalah sebuah langkah tepat untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual pada masa depan. Empati yang kokoh akan mampu menetralisir antipati yang muncul sehingga seseorang dapat mengendalikan dirinya lebih baik. Oleh sebab itu, sudah seharusnya diadakan sosialisasi edukasi seks berbasis empati supaya kasus Y tidak terulang pada masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H