"Batas-batas bahasaku berarti batas-batas duniaku."
Ludwig Wittgenstein
PENGADILAN adalah sebuah teater tempat kebohongan dan kejujuran ditampilkan. Di suatu pengadilan ada beragam pernyataan yang masih simpang siur seperti jalanan yang padat. Seorang tersangka yang sedang menjalani persidangan mungkin menyatakan suatu kebenaran, mungkin juga suatu kebohongan. Oleh karena itu, kebenaran menjadi sangat bias. Kondisi serupa terjadi pada dunia filsafat. Pada abad ke-20 banyak filsuf, terutama kaum metafisika, membuat beragam pernyataan bias yang berada di luar nalar dan indera manusia. Pernyataan-pernyataan tersebut jelas-jelas sangat menyesatkan. Maka, untuk membenahinya, muncullah sejumlah filsuf yang menawarkan sejumlah gagasan tentang penggunaan bahasa, seperti Moore, Russel, Neurath, Hahn, Carnap, dan Wittgenstein. Untuk nama yang terakhir disebut, kita akan membahas pemikirannya pada tulisan ini.
Ludwig Wittgenstein lahir di Wina pada 1889.[1] Ayahnya, Karl, seorang pengusaha besi dan baja yang terkenal di Austria. Oleh karena itu, sejumlah tokoh masyarakat sering datang berkunjung ke rumahnya, seperti musisi kondang Johannes Brahms. Pada masa muda Wittgenstein tertarik pada bidang aeronautika. Maka, pada 1908 dia pun memutuskan berkuliah di Universitas Manchester, Inggris. Akan tetapi, kemudian dia berpaling pada filsafat. Dia menemui Russel di Universitas Cambridge untuk mendalami filsafat. Russel pun menerimanya karena menyadari potensi bahwa suatu hari Wittgenstein akan melampaui dirinya. Setelah menulis buku pertamanya, Wittgenstein melanjutkan hidupnya. Dia pernah mengajukan permohonan untuk menjadi warga Rusia hanya agar dapat bekerja sebagai petani, tetapi Pemerintah Rusia menolak dengan berkata, "Kami sudah memiliki banyak petani, tetapi kami ingin Anda mengajar di universitas kami." Dia menolaknya dan memutuskan hidup bersahaja hingga meninggal pada usia 60 di Cambridge.
Selama masih hidup, Wittgenstein hanya menerbitkan sebuah buku filsafat, yaitu Tractatus Logico-Philosophicus. Uniknya bahan buku itu berasal dari catatan-catatan harian yang ditulisnya ketika dia mengikuti wajib militer. Buku itu sangat berpengaruh dalam filsafat. Dalam buku itu, Wittgenstein meyakini bahwa keruwetan pada filsafat disebabkan oleh kesalahan berbahasa. Untuk memperbaikinya, dia menawarkan teori gambar. Teori tersebut digunakan untuk menentukan benar-tidaknya suatu pernyataan. Misalnya, kalau ada filsuf yang menyatakan bahwa ada seekor harimau di ruang kelas, kita harus mengklarifikasi pernyataan itu. Kita harus memeriksa dengan cermat apakah benar ada seekor harimau (bukan kucing) di sebuah ruang kelas (bukan di kandang). Kalau memang ada, isi pernyataan tersebut dinyatakan benar. Walaupun teori tersebut berpijak pada nalar dan data inderawi, Wittgenstein juga mengakui adanya realitas yang sukar diungkap dalam media bahasa, tetapi dapat ditunjukkan, seperti pengalaman mistis, ekspresi estetika, dan perasaan psikologis.[2] Dia menyebutnya solipsis.
Setelah kembali dari pengasingan, Wittgenstein menyadari bahwa teorinya memiliki keterbatasan. Teori tersebut hanya dapat digunakan pada ranah ilmiah. Ada ranah lain yang belum diungkap dengan teori itu. Oleh karena itu, Wittgenstein mengembangkan teori permainan bahasa.[3] Teori tersebut lebih menekankan penggunaan bahasa sehari-hari. Teori tersebut menjelaskan bahwa pada setiap konteks tuturan terdapat aturan-aturan tertentu. Misalnya, penggunaan bahasa pada pidato berbeda dengan pada karya ilmiah atau pada perdagangan di pasar. Agar berterima, kita harus mengetahui dan mematuhi standar-standar penggunaan bahasa pada bidang tersebut. Kita dapat menerapkan teori tersebut pada pendidikan bahasa. Dalam belajar bahasa asing, misalnya, akan jauh lebih efektif kalau kita mempelajari aturan-aturan berbahasa daripada terpaku pada tata bahasa. Jadi, kalau sedang bertamu, berpidato, atau bergaul, kita mengetahui aturan berbahasa yang tepat dan pantas.
Dengan memahami pemikiran Wittgenstein, semoga kita dapat menjadi lebih kritis dalam menimbang suatu pernyataan dan menggunakan aturan berbahasa secara tepat.
Kepustakaan
Fearn, Nicolas. 2009. Cara Mudah Berfilsafat: Mudah & Menghibur,.Terj. Yudi Santosa. Ed. Rose Kusumaningratri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Sunaryo, "Yang Tidak Dapat Dikatakan Menurut Tractatus", dalam Driyarkara: Filsafat Analitik, Th. XXXII no. 1/2011
Suriasumantri, Jujun S.. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan XVIII. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
[1] Nicolas Fearn, Cara Mudah Berfilsafat: Mudah & Menghibur, Terj. Yudi Santosa, Ed. Rose Kusumaningratri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), 219-242.
[2] Sunaryo, "Yang Tidak Dapat Dikatakan Menurut Tractatus", dalam Driyarkara: Filsafat Analitik, Th. XXXII no. 1/2011, 61-72.
[3] Teori tersebut dimuat dalam buku Philosophical-Investigations, yang baru terbit setelah kematian Wittgenstein.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H