Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Penamaan pada Etnis Tionghoa Indonesia

20 November 2012   02:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:02 6670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nama seseorang bagi yang bersangkutan merupakan suara yang termerdu dan terpenting dalam bahasa apapun."

Dale Carnegie

Pernahkah Anda ditegur karena salah menyebutkan nama seseorang? Jika iya, itu menunjukkan bahwa nama lebih dari sekadar kata. Nama menyatakan keakuan, kebanggaan, dan kepribadian pemiliknya. Setiap masyarakat mempunyai sistem penamaan tersendiri yang menarik dikaji. Sistem penamaan etnis Tionghoa Indonesia, misalnya, tergolong unik karena memiliki kaidah tertentu. Tulisan ini mencoba mengupas sistem penamaan itu dari perspektif linguistik.[1]

Nama-nama pada etnis Tionghoa Indonesia terdiri atas dua unsur, yaitu marga (se) dan nama pribadi. Sebagaimana diketahui, selama berabad-abad, etnis Tionghoa menganut sistem patrilineal.[2] Oleh karena itu, marga diturunkan dari pihak lelaki. Marga diletakkan pada posisi depan. Perhatikanlah contoh beberapa nama berikut ini.


  • 1. Can San Tung
  • 2. Ciong Tin Nio
  • 3. Gouw Boen Hoat
  • 4. Kan Liang Bie
  • 5. Li Bun Hin
  • 6. Liaw Kap Sui


Kata-kata seperti Can, Ciong, Gouw, Kan, Li, dan Liaw merupakan beberapa marga yang sering kita jumpai di masyarakat. Dalam beberapa kasus, orang mengira bahwa orang-orang yang bermarga sama pastilah bersaudara. Sebagai contoh, ada tiga orang yang bernama Liaw Kap Sui, Liaw Sip Tjong, dan Liaw Ten Li. Ketiganya bermarga Liaw. Namun, belum tentu mereka bersaudara. Bisa saja itu terjadi karena marga mereka mirip bunyinya. Oleh karena itu, untuk memastikannya, kita perlu menelusuri pohon keluarganya.

Sementara itu, nama pribadi diletakkan setelah marga. Dalam kalangan etnis Tionghoa, orang tua biasanya memberikan anaknya nama pribadi yang mempunyai arti baik. Poerwanto menjelaskan, "Kepada anak laki-laki dipilih kata-kata yang berarti gagah, pandai, sopan; sedangkan, untuk anak perempuan dipilih kata-kata yang mengadung arti harum, cantik, lemah-lembut, dan sebagainya."[3] Nama pribadi biasanya terdiri atas dua kata. Sebagai contoh, Liem Sin Kiat, Oey Sah Wah, Ong Lan Tin, Sim Le An, Sung Cun U, Tan Bong Kian, The Min Nio, dan Thio Sang Liem. Namun, ada pula sejumlah nama yang terdiri atas satu kata, seperti Gouw Ringgit, Liem Yanto, Oey Elok, Sim Hengki, Tan Kasih, dan Tjio Olih. Pada umumnya nama pribadi yang satu kata itu sudah mengalami asimilasi budaya. Oleh karena itu, digunakanlah nama-nama yang sudah lazim di masyarakat.

Terdapat pengecualian pada penamaan anak adopsi. Anak etnis Tionghoa diadopsi karena beberapa sebab, seperti persoalan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Uniknya, anak itu tidak diadopsi orang lain, tetapi oleh kerabatnya sendiri. Sebagai tanda adopsi, kerabat yang mengadopsinya harus menyerahkan sejumlah uang kepada orang tuanya. Setelah resmi diadopsi, nama anak itu pun berubah menjadi gobang atau perak, sesuai dengan nama mata uang yang diberikan pengadopsinya.[4] Proses adopsi itu berlangsung sampai anak itu dewasa. Setelah dewasa, anak itu diberi pilihan untuk kembali ke orang tua kandung atau tetap tinggal bersama orang tua angkatnya.

Penamaan pada etnis Tionghoa memunculkan polemik pada orde baru. Pada 1966 terbitlah putusan pemerintah yang mengharuskan seluruh etnis Tionghoa mengubah namanya agar lebih bernuansa Indonesia. Karena alasan politik itulah ribuan etnis Tionghoa membuat nama baru. Uniknya, nama baru itu masih mencerminkan nama lama mereka.[5] Pada nama baru itu tersisip marga mereka. Kalau pada nama lama terletak di depan, pada nama baru marga terletak di belakang. Sebagai contoh, Oey Eng Min (Hamzah Wijaya), Oey Tiong Goan (Suryadi Wibowo), Kan Liang Lie (Ramli Sukanta), Oey Le Ing (Leni Wijaya), dan Oey Yan Wie (Gowi). Sementara itu, ada pula yang menyisipkan nama pribadinya, seperti Liaw Kin Lan (Lalan), Liem Tjan Sun (Tarmono), dan Tjio Wilyang (Yayang). Mengapa mereka menyisipkan unsur nama lama itu? Tampaknya unsur itu, terutama marga, memiliki nilai historis yang kuat. Bagaimana seandainya Anda mempunyai marga yang sudah diwariskan generasi demi generasi, tetapi harus terputus karena Anda harus membuat nama baru? Anda tentunya berupaya mempertahankan identitas itu karena sudah menjadi warisan dari leluhur. Oleh karena itu, etnis Tionghoa Indonesia pun mengupayakan unsur itu terlihat pada nama baru mereka.

Tidak semua etnis Tionghoa membuat nama baru. Pebulutangkis kenamaan Indonesia, Liem Swie King, misalnya, tetap menggunakan namanya dalam berbagai pertandingan. Bahkan, berkat namanya, beliau menjadi populer dan mendapat julukan king smash. Di samping itu, nama baru dinilai kurang efektif karena jarang digunakan dalam pergaulan. Ketika bergaul, orang Tionghoa lebih sering menggunakan nama asli. Jadi, mereka memilih memertahankan nama asli mereka.

Pada era reformasi etnis Tionghoa bebas menggunakan namanya. Tidak ada lagi peraturan yang mengharuskan mereka mengubah identitas. Namun, pergeseran budaya jelas telah terjadi. Penggunaan nama Tionghoa mulai ditinggalkan. Generasi etnis Tionghoa yang lahir pada 1990-an ke atas, misalnya, sebagian besar telah menggunakan nama Indonesia. Itu menunjukkan dua hal, yaitu bahwa identitas etnis Tionghoa mulai memudar dan bahwa asimilasi budaya telah berjalan dengan baik. Tulisan ini hanya memotret sebagian kecil penamaan pada etnis Tionghoa. Oleh karena itu, saya berharap tulisan ini dapat memberikan wawasan dan merangsang minat penelitian tentang penamaan pada etnis Tionghoa di Indonesia.

19 November 2012

Daftar Pustaka

Dawis, Aimee. 2009. Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Poerwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu

Sadeli, Eddy dkk. 2007. Daftar Marga Tionghoa di Jakarta. Jakarta: Pengurus Pusat Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia

Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa (Kasus Indonesia). Jakarta: LP3ES

Daftar Nama Etnis Tionghoa


  • a. Berikut ini nama yang terdiri atas dua kata.
  • 1. Gouw Ringgit
  • 2. Liem Etjah
  • 3. Liem Unsom
  • 4. Liem Yanto
  • 5. Oey Elok
  • 6. Oey Erly
  • 7. Oey Licah
  • 8. Sim Hengki
  • 9. Tan Kasih
  • 10. Tan Tony
  • 11. The Fredy
  • 12. Tjio Olih
  • 13. Tjio Wilyang
  • 14. Tjio Wilyong
  • 15. Tju Pung

  • b. Berikut ini nama yang terdiri atas tiga kata.
  • 1. Can San Tung
  • 2. Can Tang Nyo
  • 3. Can Wi Sion
  • 4. Ciong Tin Nio
  • 5. Gouw Boen Hoat
  • 6. Kan Liang Bie
  • 7. Kan Liang Lie
  • 8. Kan Liang Tjuan
  • 9. Li Bun Hin
  • 10. Liaw Kap Sui
  • 11. Liaw Sip Tjong
  • 12. Liaw Ten Li
  • 13. Lie Kim Hong
  • 14. Liem Kim An
  • 15. Liem Kim Lay
  • 16. Liem Kim Tek
  • 17. Liem Kim Yan
  • 18. Liem Sin Kiat
  • 19. Liem Tji Moy
  • 20. Liem Tjin Eng
  • 21. Lim Kim Wat
  • 22. Oey Sah Wah
  • 23. Ong Lan Tin
  • 24. Sim Le An
  • 25. Sim Yan Tjan
  • 26. Sim Yang Can
  • 27. Sim Yang Tjan
  • 28. Sung Cun U
  • 29. Tan Bong Kian
  • 30. Tan Goan Seng
  • 31. Tan Ka Seng
  • 32. Tan Ke Tjil
  • 33. Tan Peng Ay
  • 34. Tan Seng Hiu
  • 35. Tan Seng Hoat
  • 36. Tan Tjin Wat
  • 37. Tan Yat Nio
  • 38. The Min Nio
  • 39. The Sun Lie
  • 40. The Tjuan Ju
  • 41. Then Mie Fa
  • 42. Thio Sang Liem
  • 43. Tjio Kun San
  • 44. Tjio Nang Kim
  • 45. Tjio Pin Liong
  • 46. Tjio Tjang Lim
  • 47. Tjio Wie Hin
  • 48. Tjio Yasin Efendi
  • 49. Tjoe Sek Bi
  • 50. Tjoe Siaw Fen
  • 51. Tjong Kim Nio
  • 52. Tju Sun Kih

  • c. Berikut ini pergantian dari nama Tionghoa ke nama Indonesia
  • 1. Kan Liang Lie (Ramli Sukanta)
  • 2. Liaw Kin Lan (Lalan)
  • 3. Liem Tjan Sun (Tarmono)
  • 4. Oey Eng Min (Hamzah Wijaya)
  • 5. Oey Le Ing (Leni Wijaya)
  • 6. Oey Tiong Goan (Suryadi Wibowo)
  • 7. Oey Yan Wie (Gowi)
  • Tjio Wilyang (Yayang)


[1] Data yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari kartu undangan pernikahan antara Juni sampai November 2012.

[2] Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu, 2005), 266-289.

[3] Ibid.

[4] Informasi ini saya dapat dari wawancara pada 21 April 2012 dengan budayawan Bekasi, Bapak Khouw Sian Houw (Iwan Kurniawan).

[5] Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa (Kasus Indonesia), (Jakarta: LP3ES, 2002), 84-88.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun