Hari-hari ini kita sampai pada satu masa di mana moralitas menjadi barang yang sulit ditemukan. Bangsa kita boleh jadi mengalami krisis kepercayaan, krisis hukum, krisis politik dan berbagai krisis lainnya. Namun itu semua hanya gejala atas satu krisis mendasar yang sudah sedemikian akut. Krisis moralitas.
Mengapa Anda harus berpolitik? Faktanya segala kebijakan publik yang menjadi hukum positif bersumber dari politik. Seorang aktivis mahasiswa, aktivis LSM, ustadz, kyai, pendeta, pastor, tokoh dan lain sebagainya tidak akan bisa membuat satu keputusan yang menjadi kebijakan bagi orang banyak selama ia tidak berpolitik praktis. Namun asumsi yang demikian kuat terpatri pada kening publik adalah politik merupakan sesuatu yang hitam, kotor, bacin. Mungkin karena latar belakang tersebut para kaum moralis sebisa mungkin menghindari politik. Bagi saya sendiri politik merupakan media kita untuk bersama berusaha, berupaya, berjuang yang ujung-uungnya adalah kesejahteraan rakyat.
Untuk itu jika Anda menilai diri Anda ‘baik’ secara mental dan moral maka berpolitiklah. Jika Anda merasa harus adanya suatu perubahan mendasar untuk umat, berpolitiklah. Jika Anda berprinsip untuk menjadi pribadi yang dapat memberikan manfaat untuk umat, berpolitiklah hai kaum moralis.
Hari-hari ini kita sedang mengalami krisis politikus yang sportif dan jantan. Kita lebih sering disuguhi praktik kampanye yang sibuk mengkritik, memperolok, bahkan sampai membunuh karakter lawannya. Parahnya seringkali hal itu disampaikan dengan data-data yang tidak akurat dan sangat tendensius. Kampanye tak ubahnya satu acara terbuka memperolok, menjelek-jelekkan, memfitnah orang lain. Kesan yang sangat kental terasa dalam kampanye adalah kita disuruh memilih yang lebih baik diantara yang terburuk daripada kita disuruh memilih yang terbaik diantara yang baik-baik.
Jika ada politikus yang berpengarai buruk itu wajar. Namun jika ada politikus yang ‘baik’ di mata publik itu adalah pencitraan. (bagi saya) dalam sistem demokrasi, politik pencitraan akan selalu menjadi cara paling ideal untuk mendapat suara (baca; simpati) masyarakat. Politik pencitraan mengajarkan bagaimana agar citra yg tersemat di masyarakat, Anda adalah orang santun, baik, ramah, tak peduli sejatinya Anda seperti apa. Politik jenis ini yg dulu sukses diterapkan Pak harto selama 32 tahun hingga karena saking suksesnya, nilai-nilai demokrasi menjadi luntur bahkan hilang. Dan pada akhirnya sampai pada satu titik di mana rakyat tidak dapat ditipu lagi. Politik jenis ini juga yang sekarang diterapkan dengan cukup baik oleh pemimpin kita sekarang. Dan rasa2nya belakangan sudah mulai goyah. Ciri-ciri dari pencitraan adalah berusaha sebaik mungkin tampil, berkomentar, dan berperilaku arif di depan pers dan publik. Dan publik telah mengalami kebingungan untuk membedakan mana yang 'orisinal' dan yg 'kamuflase'. Satu yg paling 'gagal' menerapkan konsep ini adalah Abdurrahman Wahid.
Saat acara debat cagub Jakarta yang mempertemukan pasangan Foke-Nara dan Jokowi-Ahok saya sempat berharap besar akan adanya contoh debat sehat yang sportif. Akhirnya pertanyaan yang saya nanti-nantikan ditanyakan juga oleh Najwa Shihab diujung acara. “Apa hal positif yang Anda lihat dari lawan Anda sebagai modal persahabatan Anda selepas final pemilukada?”. Menyesalnya saya tidak menemukan jawaban yang teladan dari kedua pasangan. Pertanyaan seterang-benderang itu tetap saja dijawab dengan nada negatif. Begitulah politik.
Indonesia Lawyers Club yang katanya diskusi paling ‘wah’ dengan orang-orang paling ‘wah’ di negeri ini, Anda tanya siapapun dari sisi mana diskusi tersebut mampu memberikan contoh diskusi para intelektual yang mengedepankan moralitas. Silakan Anda buka Youtube dengan keyword ‘Indonesia Lawyers Club’ dan lihatlah sendiri bagaimana cara para intelektual itu berdiskusi.
Hei kaum moralis, tentu Anda sangat mafhum dengan keadaan tersebut. Saya dan jutaan manusia Indonesia lain menunggu kontribusi nyata Anda. Kami haus akan pimpinan arif. Kami haus akan panutan. Kami haus akan adanya nilai-nilai moral dalam segala elemen kehidupan bangsa ini.
“Bagiku sendiri politik adalah barang yang kotor. Lumpur-lumpur yang sangat kotor. Tapi jika kau sampai pada satu titik dimana tak bias menghindarinya lagi, maka terjunlah”. Soe Hok Gie.
Malang, 20 September 2012
10.34 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H