Diskusi di Pesma Firdaus kali ini membahas tentang polemik perbedaan pendapat di kalangan kelompok-kelompok Islam di Indonesia. Referensi yang dipakai ialah ceramah (baca: orasi) KH. Marzuki Mustamar (ketua MUI Malang) yang bisa dilihatdi sini.
Saya cenderung membahasakan apa yang disampaikan KH. Marzuki Mustamar ini --dengan kapasitasnya sebagai seorang Nahdliyin tulen-- sebagai bentuk rasa keterusikan kalangan NU atas berbagai kelompok yang ‘mengintimidasi’ tradisi NU. KH Marzuki Mustmar tidak sependapat jika NU dikatakan ahlul bid’ah oleh kelompok lain yang ‘menyerang’nya. Apa yang disampaikan oleh Kyai Marzuki ini merupakan bentuk sanggahan atas kelompok yang mendiskresitkannya.
Memang menarik untuk mengkaji problematika umat di Indonesia. Begitu banyak kelompok yang sama-sama berasaskan Islam namun dengan berbagai bentuk perjuangan yang berbeda. Ada yang Islam tradisional, ada yang Islam modernis. Ada yang pemikirannya sangat fundamental, ada yang rada liberal. Ada yang berjuang dengan pesantren, ada yang lewat pendidikan dan kesehatan, ada yang memperjuangkan khilafah, ada yang memaksa tegaknya syariat. Saya kadang merenung (baca: menghayal), ini kalau disinergikan dalam semangat ukhuwah islamiyah tentu bakal luar biasa.
Namun kenyataanya sampai saat ini belum ada konsensus (dari semua organisasi Islam) perihal konsepsi furu’iyah, yang ini menjadi salah satu kendala masih lemahnya ukhuwah islamiyah. Ada berbagai mecam intrepetasi terhadap Al Quran dan Hadits dari berbagai ormas Islam tersebut. Perbedaan manhaj intrepretasi ini menjadi salah satu pangkal terciptanya produk hukum yang berbeda yang kadang kontradiksi satu sama lain. Polemik yang kemudian berkembang adalah seberapa tinggi tingkat kedewasaan ormas-ormas Islam tersebut dalam menyikapi perbedaan tersebut.
Saya berasumsi sebenarnya yang saling mencela itu hanya di kalangan grass root kelompok-kelompoknya saja. Saya ambil contoh Muhamadiyyah dan NU. Di kalangan pengurus pusatnya toh yo sharing-sharing bareng, diskusi bareng bahas kebaikan umat. Ngopi-ngopi bareng. Lha di grass rootnya itu loh yang pada fanatisme buta, yang pada menyikapi perbedaan dengan nafsu fanatik tanpa melibatkan otak apalagi nurani.
Nah, bagi kita-kita yang secara kematangan dalam berislam masih prematur kadang-kadang bingung. Kelompok yang ini bilangnya A, kelompok lain bilang B. Kelompok ini mencela kelompok itu, kelompok itu mencela kelompok ini. Kita mesti ikut yang mana?
“Kita harus ikut ulama” kata mas bron.
“Lha mereka semua kan ulama” kata mas paska.
Jadi pilih yang mana?
Menarik untuk menjawab pertanyaan di atas dengan kisah Kholifah Al Mansur dan Imam Malik. Ketika Abu Ja’far Al Mansur hendak menjadikan umat hanya berkiblat pada kitab Al Muwattha’ karya Imam Malik rahimahullah, Imam Malik berkata: “ Jangan kamu lakukan wahai khalifah. Karena sesungguhnya umat telah banyak memperoleh fatwa, mendengar hadits, meriwayatkan hadits. Dan mereka telah menjadikannya sebagai panduan amal. Merubah mareka dari kebiasaan itu sungguh sesuatu yang sulit, maka biarkanlah umat mengerjakan apa yang mereka fahami”. Imam Malik yang Faqih saja begitu arifnya menyikapi perbedaan. Lha kalau ada kelompok yang truth claim pendapatnya secara membabi buta emang mereka udah se-faqih apa?
Saya sangat sepakat dengan kesimpulan diskusi kali ini. Inti permasalahannya bukan pada perbedaannya, akan tetapi etika menyikapi perbedaan tersebut. Seberapa kita dewasa dan arif dalam menyikapi perbedaan yang memang sudah kodrat-Nya.
Malang, 4 april 2012
00.55 WIB
*) Tinggal di Pesma Firdaus Malang
Mahasiswa Universitas Brawijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H