Seperti yang kita ketahui saat ini kita berada di era disrupsi. Dilansir dari www.ui.ac.id Pengertian dari disrupsi adalah sebuah era dimana terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran yang secara fundamental mengubah semua sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara yang baru.
Alasan pertama terciptanya disrupsi yakni bisa dilihat dari perubahan yang terjadi pada bagian metode bisnis, sehingga mereka yang tidak menggunakan cara tersebut akan keluar dari ekosistem dan akibatnya pemain yang masih menggunakan cara dan sistem yang lama akan kalah dalam persaingan. Di era disrupsi ini, yang mengalami perubahan bukan hanya bidang bisnis dan ekonomi, namun sebenarnya perubahan utamanya bermula dari kehadiran teknologi digital.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, berbagai perangkat yang mempermudah keperluan manusia mulai bermunculan. Sebagai contoh, adanya ponsel yang dulunya hanya sebagai media dan alat untuk berkomunikasi, kini sudah dilengkapi dengan program-program yang mendukung. Ponsel pun berkembang menjadi ponsel pintar, yang bukan hanya sekedar menjadi media komunikasi, namun juga bisa sebagai media pencari informasi. Segala informasi, berita terkini, artikel-artikel mengenai banyak hal bisa diakses dengan mudah.
Lantas, bagaimana kabar media cetak? Seperti yang kita ketahui, media cetak merupakan salah satu bentuk dari media komunikasi massa. Media cetak ditemukan pertama kali oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1455. Pada awalnya ia menggunakan media cetak untuk mencetak bible melalui teknologi yang ia temukan itu. Dengan teknologi tersebut juga mendorong peningkatan produksi buku pada zaman itu. Media cetak yang berkembang di masyarakat Indonesia yaitu majalah, koran, booklet daan brosur, surat langsung, handbill atau flyer, billboard, press release dan buku.
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi, media cetak mulai satu persatu ditinggalkan. Bahkan sejumlah media cetak ternama pada masanya, kini perlahan mulai berhenti beroperasi. Dikutip dari kumparan.com bahwa Pakar komunikasi terkenal, Philip Meyer, menyebut koran pada 2044 akan berhenti cetak, dan hal ini bisa menjadi kenyataan jika tidak adanya inovasi baru dari pimpinan koran untuk menyikapi perkembangan yang ada (Nurdin, 2009).
Menanggapi hal ini, media cetak harus mencari inovasi baru untuk mempertahankan industrinya. Beberapa media cetak di Indonesia mulai bergerak membuat platform digital. Sayangnya, dengan adanya platform digital tersebut membuat kualitas berita mereka lebih rendah daripada versi cetaknya. Media daring di indonesia lebih fokus dalam memproduksi berita cepat dan pendek dengan dua hingga tiga narasumber (Zuhra, 2017)
Media cetak dalam mempertahankan eksistensinya adalah dengan cara memberikan ulasan berita secara lengkap dari berbagai sudut pandang dan mewawancarai lebih dari satu narasumber yang memiliki kredibilitas. Strategi lain dalam mempertahankan eksistensinya, media cetak mempertimbangkan desain layout dan gambar dibuat dengan menarik yang disesuaikan dengan pembacanya. Dengan desain yang menarik akan memberi daya tarik tersendiri bagi para pembacanya.
Tidak hanya melalui hal-hal diatas, tentunya media cetak mencoba berbagai upaya untuk bertahan di era saat ini. Dikutip dari mix.co.id Ada empat strategi yang dipaparkan Wahyu Dhyatmika, Redaktur Eksekutif  Majalah Tempo, dalam menghadapi era disrupsi.
Kenali competitive advantage
Competitive advantage yang membuat majalah itu unik. Jangan tiru media lain yang sudah memiliki kompetensi sendiri. Jangan sampai setelah go digital, uniquenes  itu  bergeser. Tempo karena sudah kuat di berita  indepth, investigasi dan identitas independensi, maka harus dicari bagaimana agar  competitive advantage itu tetap bisa dipahami dan dijual.
Bekerja dengan orang-orang yang berlatar belakang digital