M. Adib Abdushomad
Bagi sebagian orang atau lembaga pemerintah naiknya dollar Australia menjadi bencana untuk berfikir dua atau tiga kali lipat untuk mengirimkan awardee studi lanjut ke Australia, akan tetapi tidak di bagian Selatan Australia tepatnya yang berada di kota Adelaide. Dengan tingginya dollar Australia, Pemerintah Indonesia pun melalui beasiswa Dikti sudah berancang-ancang untuk mengalihkan skema pengiriman beasiswanya yang tidak lagi diarahkan ke Australia, akan tetapi ke lainnya, terutama yang berani menawarkan bebasbiaya semester (tuition weaver) bagi mahasiswa Ph.D, jika tidak bisa selesai dalam tempo tiga tahun . Tentu tulisan ini sifatnya case by case tidak menggeneralisir semua student yang berada di Adeliade merasa bahagia atau beruntung semuanya. Masalah bahagia itu relatif, bahkan sampai sekarang ini pun PBB sedang mengalami kesulitan untuk mengukur instrument yang dinamakan kebahagiaan. Lalu kebahagiaan atau keberuntungan apakah yang saya maksudkan? Silahkan baca observasi dan pengalaman penulis selama berada di kota Adelaide mulai dari 2007.
Pertama kali menginjakkan bumi di Australia adalah pertengahan Juni tahun 2007, dengan disambut hawa dingin saat itu. Kota Adelaide, memiliki tiga universitas terkenal Universitas Adelaide, Flinders dan Universitas Australia Selatan. Sebelum datangnya beasiswa DIKTI dari pemerintah Indonesia, sebagian besar yang berada disini adalah beasiswa dari Australia yang dikemas berbagai paket, ada APS, ADS, Endeavour, ALA dan sebagaian kementerian ada yang mengirimkan staffnya ke kota ini seperti BKKBN, dan Kementerian Agama. Saya termasuk generasi kedua yang merasakan kebijakan pemberi beasiswa ADS yang tidak memberikan income tambahan bagi spouse (pasangan yang telah berkeluarga), sebagai akibatnya saya tidak berani memutuskan membawa keluarga saat itu. Namun demikian, setelah satu semester berhasil menjinakkan assignment dan alhamdulilah nilai rata-rata memuaskan dan yang terpenting adalah terpampang luas peluang pekerjaan di Adelaide bagi para spouse, maka tahun berikutnya saya beranikan diri untuk membawa keluarga untuk tinggal bersama di Australia.
Prediksi saya benar, belum satu bulan istri tinggal di Adelaide, lamaran kerja di Mondelo sudah diterima dan akhirnya bekerjalah disana. Yang paling mengejutkan adalah penghasilan rata-rata kerja Mondelo waktu itu satu minggu bisa mencapai $ 600 dollar, sehingga kalau sebulan kurang lebih $ 2400 dengan kurs misalnya Rp.8000, maka setiap bulan, kami bisa menabung 20 sampai 25 juta-an. Meksi dikurangi biaya rumah, dan kebutuhan pendidikan lainnya, bersih kami saat itu bisa mengumpulkan uang 15 juta-an, apalagi memang sebagai penerima beasiswa kita tidak mikir membayar kuliah serta ditanggung living allowance-nya. Kondisi berlebih, ketika akhir semester sewaktu S.2 saya sempat nyambi kerja di Jarvis (dapat hadiah dari teman karena kasihan ngurusin umat sehingga belum dapat kerja permanen). Penghasilan saya tersebut masih tergolong kelas rata-rata, karena masih ada yang model double income (apabila kedua-duanya bekerja, suami dan istri) dengan penghasilan pertahun bisa mencapai diatas $50 ribu dollar.
Oleh karena itu, logika saya megatakan dengan kurs sekarang ini (mulai awal tahun 2012) yang sampai 9 ribuan, maka hampir dipastikan tingkat kesejahteraan teman-teman yang studi di sini saya yakini, semakin tinggi. Meskipun dengan beasiswa DIKTI yang tidak mendapatkan potongan sekolah anaknya, dengan rata-rata penghasilan spouse sebagaimana gambaran saya diatas (biaya sekolah anak $4 ribu dollar) mereka masih bisa survive, hanya saja harus pandai-pandai mencari tempat kerja.Di Adelaide lah, saya amati orang tidak sulit untuk mencari kerja, bahkan pekerjaan “menyapa” para spouse dan bahkan para student jika mereka berniat untuk membagi belajarnya sambil bekerja. Bahkan, ada yang terlena kebablasan.Ketika saya bertanya teman satu angkatan sewaktu master , teman saya tersebut tiba-tiba resign tidak ambil mata kuliah yang semestinya satu kelas dengan saya; dengan santainya menjawab: “saya mau cari kuliah yang tidak menggangu jadwal kerja saya”. Memang godaan dollar cukup menggiurkan.Bagi yang bisa memanfaatkan waktu belajar dan mencari dollar, mungkin sudah rezekinya. Istilahnya sambil menyelam minum air.
Di tengah-tengah hiruk pikuk suasana seperti diatas, masih ada orang-orang yang saya anggap idealis dan menggiatkan diskusi, bahkan telah terbit buku yang diterbitkan oleh PPIA Flinders Tahun 2012 yang dihadiri lauching-nya oleh Vice CounsellorProf. Michael Barber. Diksusi Reboan di Pendopo Flinders juga tumbuh dan konsisten menggarap beraneka ragam tesis mahasiswa Ph.Ddan juga berbagai ragam tema lainnya. Diskusi model inilah, kata mas Budi (Priyambudi, Ph.D, Dosen di Asian Studies) telah melahirkan alumni yang reputasi akdemiknya bisa dikatakan sangat membanggakan seperti Prof. Pratikno (kini Rektor UGM), Prof. Daniel Sparingga (Staf khusus President SBY), Prof. Kacung Maridjan (akdemisi UNAIR, pengurus PB.NU), dan beberapa alumni lainnya. Di kampus yang berada berdekatan di Flinders lainnya saya lihat juga marak diskusi dan seminar, baik di UNISA dan Adelaide University. Tidak ketinggalan, diskusi keagamaan, baik di MIIAS dan KIA (kajian Islam Adelaide) bagi yang beragama Islam dan agama lainnya yang juga hadir tiap bulannya secara dinamis
Bagi saya singkat cerita, kuliah di Australia, khususnya di Adelaide, sangatlah barokah, karena sebagian besar mendapatkan dua hal, fil ilmi wal maal (dapat ilmu dan dollar). Memang, environment mencari kerjanya sangat kencang, begitupula atmosfer akademiknya. Semuanya masalah pilihan, dimana saja tergantung mahasiswanya. Bagi saya Adelaide tetap ideal untuk belajar, bahkan menurut saya pemerintah justeru terbantu dengan adanya kemudahan mencari lapangan kerja bagi para spouse-nya itu. Maka jangan heran kalau alumni Adelaide khususnya pulang ke Indonesia identik dengan membawa kesejahteraan materi dan non-material. Jika Anda inginmendapatkan dua keberuntungan ilmu dan maal (dollar), mari buktikan datang ke Adelaide, niscaya Anda pasti ingin tinggal lebih lama disini. (http://adib-gja.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H