Mohon tunggu...
Adi Bermasa
Adi Bermasa Mohon Tunggu... Jurnalis - mengamati dan mencermati

Aktif menulis, pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Umum Koran Padang, Redpel & Litbang di Harian Umum Singgalang, sekarang mengabdi di organisasi sosial kemasyarakatan LKKS Sumbar, Gerakan Bela Negara (GBN) Sumbar, dll.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sayang, Rekomendasi Muballigh Menag Menghebohkan

22 Mei 2018   16:22 Diperbarui: 22 Mei 2018   18:08 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ULAMA, di negara manapun bermukimnya, komitmen kebangsaannya tidak diragukan. Mereka adalah pejuang tangguh untuk menyejahterakan bangsanya. Tanpa diberi imbalan pun, ulama sejak dulunya selalu tampil dan jadi panutan masyarakat. Bahkan di Indonesia, peran ulama sungguh sangat besar memperjuangkan Indonesia merdeka,lepas dari cengkeraman penjajahan.

Tidak terhitung ulama yang sekaligus berperan mengangkat senjata mengusir penjajah. Misalnya Peto Syarif Tuanku Imam Bonjol di Sumatra Barat, Teuku Umar di Aceh, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, dan pada 'Sunan' yang tersebar di Tanah Jawa. Begitu juga di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan di berbagai penjuru Indonesia tercinta ini, peran ulama sangat menentukan arah masa depan bangsa ini.

Peran ulama luar biasa besar dalam pemerintahan suatu negara. Jasanya mengagumkan. Sehingga populerlah sebutan bahwa ulama adalah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.

Di balik peran besar ulama sekaligus pengabdiannya sebagai mubaligh, ternyata sekarang peran ulama ataupun muballigh memunculkan problema menghebohkan di negeri ini di saat umat Islam di seluruh dunia melaksanakan ibadah puasa Ramadan 1439 H.

Dari jutaan ulama sekaligus muballigh di Indonesia, ternyata yang direkomendasikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin hanya 200 orang saja. Sungguh tidak tepat momennya merekomendasikan muballigh tersebut. Jelas, mereka yang tidak ada namanya bisa jadi merasa dikucilkan. Bahkan berbahayanya, Menag dinilai terlalu jauh masuk ke dalam 'rumah tangga' lembaga profesional ulama ataupun muballigh tersebut. Meski sudah ada penjelasan berkali-kali oleh jajaran Kemenag melalui media massa, namun sasarannya tidak tepat.

Silahkan saja jajaran Kemenag membina tugas penyuluh agama secara maksimal, namun merekomendasikan muballigh ataupun ulama bisa jadi bukan kerja yang tepat. Buktinya, semenjak rekomendasi 200 muballigh itu dimunculkan, sorotan dari segala penjuru tidak henti-hentinya dialamatkan pada Menag Lukman Hakim Saifuddin.

Bayangkan, jika jutaan muballigh yang tidak direkomendasikan 'berhenti' saja sehari mengabdi, apa jadinya negeri ini? Jika Menag Lukman Hakim tetap meneruskan 'program rekomendasi' menghebohkan itu, jelas sangat disayangkan. Bahkan mereka yang tidak masuk daftar rekomendasi, berhenti mengabdi, bekerja serabutan, jelas keadaan negeri ini semakin tidak nyaman, apalagi ummat sedang melaksanakan ibadah puasa.

Bagaimanapun, keadaan sekarang sebenarnya sangat membuat Menag Lukman jadi tersudut. Terlihat kerja yang dilakukan Menag Lukman kurang koordinasi dengan MUI, Ormas Islam, dan lembaga terkait lainnya.

Meski Menag Lukman dan jajarannya sudah memberikan penjelasan lewat media tentang program rekomendasinya, ternyata ummat lebih cepat menilai program itu sebagai kerja yang tidak pantas.

Tidak perlu rasanya program rekomendasi itu diteruskan, mungkin pengecualiannya untuk jajaran penyuluh yang menerima honor dari Kemenag. Cara terbaik saat ini, khusus berkaitan dengan ulama ataupun muballigh, silahkan duduk semeja dengan Pengurus MUI, NU, Muhammadiyah, DDII, Perti, Persis dan Ormas Islam lainnya. Dari pembicaraan melibatkan Ormas keagamaan Islam tersebut, Inshaallah berhasil dilahirkan kesepakatan untuk kesejahteraan bangsa yang besar ini.

Jika Menag Lukman Hakim Saifuddin tetap gigih melaksanakan program yang tidak populer tersebut, problema berkaitan dengan pecah-belah sesama anak bangsa niscaya semakin meruncing. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun