Mohon tunggu...
Adi Bermasa
Adi Bermasa Mohon Tunggu... Jurnalis - mengamati dan mencermati

Aktif menulis, pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Umum Koran Padang, Redpel & Litbang di Harian Umum Singgalang, sekarang mengabdi di organisasi sosial kemasyarakatan LKKS Sumbar, Gerakan Bela Negara (GBN) Sumbar, dll.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Problema Jalan Negara di Sumbar: Mengenang Sabri Zakaria dan Falsafah "Baiyo-batido"

21 Februari 2018   14:04 Diperbarui: 21 Februari 2018   14:10 1286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KEMACETAN lalulintas pada salah satu ruas jalan di Sumatra Barat. (FOTO: DOK PRIBADI)

TANJAKANmaut 'Singgalang Kariang' di Lembah Anai dulu terbilang menakutkan bagi mereka yang menempuh lokasi berbahaya itu, baik yang menuju arah Padang atau sebaliknya. Tidak terhitung korban lalulintas berjatuhan di ruas jalan itu sejak dibangun pertama kali pada zaman penjajahan Belanda. Tanjakan maut itu baru diperlebar saat Kepala Dinas PU Sumbar dijabat Ir. H. Sabri Zakaria.

Tanjakan itu memang luar biasa mendebarkan. Sebelah barat bukit batu cadas dan sebelah timur jurang dalam menganga. Menakutkan.

Sabri Zakaria-lah yang luar biasa besar jasanya mengatasi 'problema maut' Singgalang Kariang tersebut. Diperintahkannya pekerja yang dipercayanya menakik batu cadas perbukitan di pinggir jalan lokasi maut itu. Berangsur-angsur pekerja itu menakik cadas itu dengan alat tradisional berupa pahat batu. Lama juga waktu yang dibutuhkan pekerja yang kebanyakan berasal dari 'tanah seberang' dalam menakik cadas keras itu dengan penuh kesabaran.

Kerja keras Dinas PU era Sabri Zakaria yang memperlebar jalan tanjakan dan tikungan maut 'Singgalang Kariang' tersebut yang saat ini kita nikmati ketika berlalu-lintas melalui Lembah Anai. Bagi Sabri Zakaria, dalam membangun jalan provinsi atau jalan negara di Sumatra Barat, tidak ada sebutan 'lurah yang dalam dan bukit yang tinggi'. Sampai sekarang, nama Sabri Zakaria tetap fenomenal di daerah ini, termasuk bagi wartawan generasi (alm) Basri Segeh.

Kini, Sumatra Barat sudah hebat. Jalan raya, jalan provinsi, jalan negara, jalan kabupaten, jalan kota, bahkan jalan komplek rata-rata sudah bagus. Namun, di balik itu, kemacetan sudah membudaya pula.

Era Sabri Zakaria yang mampu mereformasi berbagai problema jalan raya di daerah ini dulunya, sekarang problemanya justru lebih dahsyat lagi. Semua jalan negara dan propinsi sudah lebar. Tapi pertambahan jumlah kendaraan luar biasa melejit. Tidak 'terkaha' lagi oleh jalan menerima serangan dari kendaraan yang berjibun banyaknya.

Syukur, berkat turun tangannya Presiden Joko Widodo, dibangunlah jalan tol Padang-Pekanbaru yang selesainya diperkirakan lima tahun lagi, 2023. Sebelum tol selesai, tentu kita harus sabar menghadapi kemacetan, terutama pada jalur utama Padang-Bukittinggi-Payakumbuh.

Meski pada beberapa bagian jalan negara sudah diperlebar, terutama di kawasan Padangpariaman, Lubukalung - Sicincin, namun pada lokasi lainnya tetap saja memusingkan pada waktu-waktu tertentu.

Keberanian bertindak dan berbuat seperti Sabri Zakaria sepertinya tidak lagi dipunyai pejabat daerah ini. Bahkan dimulainya pembangunan jalan tol adalah kegigihan Presiden Joko Widodo. Jalan tol Aceh-Lampung dan Merak, Banyuwangi, diharapkan selesai di era Joko Widodo.

KEMACETAN lalulintas pada salah satu ruas jalan di Sumatra Barat. (FOTO: DOK PRIBADI)
KEMACETAN lalulintas pada salah satu ruas jalan di Sumatra Barat. (FOTO: DOK PRIBADI)
Meski sudah ada rencana pelebaran jalan Padang-Bukittinggi dilanjutkan, terutama untuk mengatasi kemacetan di Kotobaru dan Padangluar, namun pemerintah masih terkendala dalam hal pembebasan lahan. Memperlebar jalan negara sekitar tiga meter, sama saja dengan program tambal sulam yang manfaatnya tidak terasa dalam waktu lama. Begitu juga upaya memperlebar jalan di Kotobaru sudah lama jadi pembicaraan. Namun, yang dikerjakan adalah rencana membangun jalan baru sebelah timur stasiun keretapi Kotobaru. Sayang, hanya setahun anggaran, berhenti pula sampai sekarang.

Begitu sulitnya -- sejak reformasi -- pemerintah minta partisipasi masyarakat. Rakyat sudah berani. Mereka tidak mau digertak dan ditakuti. Di sinilah perlunya aparat pemerintah berpandai-pandai dengan masyarakat. Gerakan 'pendekatan rohani' pantas dimaksimalkan. Kalaulah rakyat tidak merasa senang dan tidak terjalin 'sehati sesuka', selama itu pula beragam problema berkaitan dengan partisipasi masyarakat akan muncul dan jadi kendala dalam pembangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun