PDIPÂ adalah partai pemenang Pemilu 2014, baik Pemilu Legislatif (pileg) maupun Pemilu Presiden (pilpres). PDIP memiliki anggota dewan terbanyak di DPR RI saat ini. Bahkan, banyak partai berkoalisi dengan PDIP. Otomatis, pendukung PDIP untuk melahirkan keputusan di tingkat pusat terbilang menggembirakan. Kompaknya partai koalisi di DPR tentu saja menghasilkan produk menggembirakan.
Meski demikian, untuk menentukan pilihan sukses atau menang di lingkungan eksekutif (pemerintahan) bukanlah hal mudah bagi PDI Perjuangan. Jumlah suara rakyat mayoritas di suatu daerah yang mengantarkan PDI Perjuangan menang dalam pemilihan legislatif jangan dianggap menjadi jaminan meraih kemenangan dalam pemilihan pimpinan eksekutif.
Begitu juga sebaliknya, suara PDIP yang hanya seberapa di suatu daerah juga belum jadi jaminan akan kalah dalam pemilihan esekutif.
Contohnya sudah banyak. Di Sumbar suara PDI Perjuangan dalam pemilihan legislatif sangat minim, namun dalam pemilihan eksekutif ternyata yang dicalonkan PDI Perjuangan berjaya. Itulah yang terjadi pada Pilgub Sumbar 2005. Gamawan Fauzi yang diusung PDIP berhasil meraih suara terbanyak dan menduduki kursi Gubernur Sumbar. Waktu itu, Gamawan dicalonkan PDIP berkoalisi dengan Partai Bulan Bintang (PBB) yang dua-duanya adalah ‘partai kecil’ di Sumbar.
Masih di Sumbar, pada pilkada serentak 2015, calon PDIP berkoalisi dengan PKB untuk Kabupaten Limapuluh Kota dan memenangkan Irfendi Arby. Padahal, di Kabupaten Limapuluh Kota, suara PDIP dan PKB tidak seberapa. Namun calon unggulannya ternyata menang.
Hal demikian tentu saja juga terjadi di banyak daerah di Indonesia. Jadi, bisa diambil kesimpulan bahwa tidak ada jaminan partai yang menang di pemilihan legislatif, juga akan menang di pemilihan eksekutif.
Contohnya di Banten. Rano Karno yang dicalonkan PDIP ternyata kalah. Begitu juga di Pilgub Sumbar tahun 2015. Dalam pilkada itu, Calon Gubernur Muslim Kasim didukung koalisi 10 partai politik. Sementara, pendukung Irwan Prayitno hanya dua partai, PKS dan Gerindra. Nyatanya, Irwan Prayitno yang menang.
Tidak ada jaminan bahwa calon yang didukung partai banyak suara akan menang dalam pemilihan eksekutif. Termasuk dalam Pilgub DKI. Tidak ada jaminan Ahok menang meski diusung partai dengan mayoritas suara dalam pemilu legislatif. Apalagi, yang bersangkutan saat ini sedang berkasus hukum.
Sebaliknya, Anies Baswedan besar kemungkinan sukses dalam Pilkada Jakarta. Alasannya, gerak dan penampilannya selalu menyentuh perasaan rakyat. Tidak tampil menderu-deru, tidak kasar, tidak sembrono, sombong, atau ‘ongeh’. Anies Baswedan tampaknya sudah terlatih sejak kecil sebagai 'insan panutan' dengan kepribadiannya yang ketimuran bermoral Pancasila, menghargai pluralitas yang sudah ditadirkan untuk Bangsa Indonesia.
Lihatlah pimpinan eksekutif pilihan rakyat Indonesia, boleh dikatakan mereka adalah tokoh hebat dan membanggakan. Mereka rata-rata terkendali dalam berbuat dan bertindak dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
Bahkan, jika sejak dulunya semua eksekutif punya kepribadian ketimuran dengan landasan moral Pancasila dalam arti sebenarnya, niscaya kemajuan bangsa ini sudah lama meroket. Sebaliknya, kalau calon eksekutif itu hanya sebentar ‘ditempa’, maka sungguh malang nasibnya seperti yang sudah banyak terjadi pada beberapa gubernur di Indonesia yang nasibnya berakhir di balik jeruji besi. *