MENGAMATI beragam berita yang muncul tiap hari di berbagai media, seakan kerukunan di Jakarta rapuh dan membahayakan.
Saling mencurigai antar beda pilihan calon Gubernur DKI yang akan bertarung 19 April tampaknya semakin memanas. Kalau aparat lengah, atau bekerja setengah- setengah, bisa saja muncul problema membahayakan di ibukota negara ini.
Bagaimanapun kita tidak ingin negara ini bubar atau chaos gara-gara Pilkada DKI ini. Sementara, tahapan Pilkada DKI dari hari ke hari terus memanas situasinya.
Tradisi ber-Pilkada bukan berlangsung di DKI saja, tapi juga di banyak daerah lainnya. Bahkan di daerah lain, baik provinsi, kota, dan kabupaten, rata-rata sudah diketahui pemenangnya. Meski ada yang masih dalam proses berperkara di Mahkamah Konstitusi (MK), namun suasana di daerah pemilihan sudah mereda 'panas'-nya. Yang mungkin masih agak rumit suasananya, adalah di Kabupaten Jayapura, Papua.
Bagaimanapun juga, kewaspadaan dan kesiapsiagaan semua unsur keamanan dan ketertiban tentu perlu lebih dimaksimalkan.
Jika Pilkada DKI Jakarta pada puncaknya menghasilkan ketidakstabilan, jelas sangat disesalkan. Sebab, DKI adalah barometernya Indonesia. Selamat Jakarta, selamatlah Indonesia. Berdarah- darah Jakarta, sengsaralah Indonesia.
Jakarta adalah 'pusat' segala-galanya bagi Indonesia. Semua orang hebat bermukim di Jakarta. Jakarta adalah pusat kendali stabilitas bangsa yang besar ini.
Bayangkan jika Jakarta tidak stabil, rusuh, cekcok, bakar-membakar, tembak-menembak, saling berbunuhan rampok-merampok, hukum rimba berjadi-jadi. Waduh, sengsaranya negeri ini!
Waktu 14 hari ini menjelang pilkada putaran dua, 19 April, 'suhu kerawanan' terus meningkat. Sangat pantas semua kalangan menahan diri. Jangan ada lagi muncul kecurigaan-kecurigaan semu.
Untuk menjaga ketenteraman ‘puncak penungguan’ Pilkada DKI, tentu sangat dibutuhkan kearifan semua pihak. Yang dibutuhkan hanya ketenteraman dalam arti yang sebenarnya. Bukan ketentraman semu. Bukan ketentraman lahiriah saja.
Kerukunan antar umat beragama di Jakarta perlu terus digenjot maksimal. Di Jakarta, pasti ada Forum Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB). Keberadaan FKUB sudah lebih 10 tahun, dengan pengurusnya tokoh dari beragam agama. Apakah FKUB di Jakarta tidak berani muncul ke permukaan meredam suasana panasnya Jakarta?
Sudah beragam muncul ke permukaan hal-hal yang tidak mengenakkan bagi 'kemolekan' negeri ini. Sebut saja, dugaan makar yang menimpa tokoh-tokoh negeri ini. Mereka ditangkap, mereka jadi tersangka.
Apakah beda pendapat, memberi masukan, kebebasan berfikir dan bicara, sudah begitu 'lari' dari negeri yang kita cintai ini?
Sebenarnya, FKUB Jakarta belum terlambat untuk bergerak. Silahkan berdialog dengan 'pemegang kunci' ketenteraman DKI ini, seperti pihak kepolisian, MUI, Dewan Gereja, serta lembaga berkuasa lainnya. Bahkan, dengan Habib Rizieq Sihab pun pantas FKUB berdialog serta tokoh-tokoh kritis lainnya.
Kalau saling pengertian dan saling memahami antar-pengendali kerukunan di negeri ini berlangsung positif, Insyaallah, negeri dan ibukota negara ini akan aman-aman saja.
Namun jika kerukunan tidak lagi terpelihara atau keadaannya mengkhawatirkan, inilah yang yang sangat dicemaskan anak bangsa ini.
FKUB Jakarta diharapkan kuat dan mampu tampil ke permukaan mendinginkan suasana yang nadanya panasnya semakin menyengat.
Semua pihak hendaknya memaklumi bahwa negara ini kuat karena direkat agama.
Menciptakan kerukunan perlu kearifan banyak pihak. Kerukunan adalah untuk penguatan kebangsaan. Negara yang rukun sebagai pertanda kecerdasan bangsanya. *
Padang, 4 April 2017
(Sebahagian bahan tulisan ini bersumber dari 'Evaluasi Pelaksanaan Regulasi Terkait Kerukunan umat Beragama’ dengan narasumber Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Pusat, Ferimeldi Ph.D)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H