WARGA Jorong Ampanggadang, Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat, pantas bangga dengan kemajuan kampungnya. Beragam fasilitas umum di jorong itu sudah bagus. Masjidnya besar dipenuhi jemaah, terutama saat Salat Jumat. Anak-anak setiap minggu pagi rutin melaksanaan Didikan Subuh. Wirid pengajian dan beragam pertemuan warga juga dipusatkan di masjid itu.
Ada lagi lembaga pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) dengan muridnya ratusan orang. Pagi mereka di SD, siangnya di MDA untuk belajar ke-Islaman, akhlak, dan pelajaran lainnya. Ada pula TK Â dan PAUD. Bangunannya sangat 'rancak', dibiayai swadaya dan bantuan pemerintah.
Yang lebih membanggakan, seluruh jalan utama di jorong itu sudah diaspal hotmix oleh Pemkab Limapuluh Kota. Hanya saja, selokan yang ada di jorong itu sangat membutuhkan partisipasi warga dalam pemeliharaannya. Di sinilah, peran penduduk setempat bergotong-royong membersihkan selokan. Sehingga, air mengalir teratur musim penghujan dan genangan tidak ada. Aspalpun juga tidak mengelupas karena terkikis luapan air.
Istimewanya lagi, kampung ini dihuni beragam suku. Disediakan petunjuk tentang lokasi suku bersangkutan dengan memampangkannya di pinggir jalan di tiap-tiap persimpangan.
Tanpa bermaksud membanggakan diri, rumah penduduk di jorong itu tergolong membanggakan. Tidak ada lagi berlantai tanah, berdinding tadir, dan beratap rumbio. Mungkin saja, penyebab mereka 'agak di atas' keadaannya lantaran punya keterkaitan dengan kecerdasan warganya. Rata-rata tiap rumah di jorong itu, minimal punya dua sarjana (S1) lulusan berbagai perguruan tinggi di Sumatra Barat, Riau, dan tidak sedikit pula tamatan dari perguruan tinggi di tanah Jawa.
Karena pendidikan warga Ampanggadang sudah tergolong membanggakan, banyak di antara warganya yang mengabdi di luar daerah, baik sebagai aparat pemerintahan dan tidak sedikit pula yang berwiraswasta. Sehingga, yang menetap di kampung kebanyakan orang yang sudah tua, juga keluarga yang berusaha memelihara tanah pusaka, serta bekerja dalam beragam bisnis lainnya, selain ada yang bekerja sebagai tukang, PNS, dan guru.
Rata-rata partisipasi perantau Ampanggadang dalam memajukan kampungnya sangat membanggakan. Pembangunan beragam fasilitas umum di kampung mayoritas dananya berasal dari kiriman perantau. Mereka merasa malu kalau 'tidak sato sakaki' membangun kampung halaman.
Namun, di balik berbagai pesatnya pembangunan itu, masih ada berbagai hal yang perlu jadi perhatian. Seperti, meningkatkan kesejahteraan guru MDA, memaksimalkan kebersihan lingkungan, dan ‘mempermanenkan’ drainase dari Pajak Kongsi ke Tabekgadang, begitu juga ke Labuahbasilang dan arah ke Balaitalang. Sebab, drainase yang bagus saat ini baru dari arah Pajakkongsi ke Baruah Bakir.
Selain itu, perlu juga diupayakan agar warga ramai beribadah ke musala di Kampung Melayu dan Sikumbang. Tak kalah pentingnya, kantor jorong yang sudah bertahun-tahun dilaksanakan pembangunannya sampai kini masih belum selesai juga.
Oleh karena itu, untuk lebih suksesnya pembangunan di Ampanggadang di masa yang akan datang, sudah pantas rasanya pemerintahan jorong memperlihatkan keseriusan yang maksimal dalam menyerap pemikiran warga, baik yang ada di kampung halaman apalagi di peantauan. Sudah pantas pula tokoh masyarakat bersama lembaga pemerintahan 'seiya sekata' membuat program tahunan kejorongan.
Begitulah sekelumit catatan dari Jorong Ampanggadang yang berpenduduk sekitar 3.000 jiwa yang tersebar di kampung dan perantauan. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H