Salah satu kerja beberapa pejabat hasil Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) yang memprihatinkan banyak pihak adalah me-nonjob-kan banyak stafnya dari beragam eselonering. Pejabat yang selama ini begitu gesit melaksanakan tugas dan pengabdiannya, ternyata saat mutasi ataupun rolling banyak yang 'taduduak', prihatin, sedih dan menahan perasaan. Sebab, yang bersangkutan tidak ditunjuk lagi memegang amanah yang diberi kepercayaan oleh pejabat sebelumnya.
Berhenti dari jabatan tanpa lagi memegang tugas jelas memprihatinkan. Tidak bersalah, tiba-tiba saja angin berkisar. Mereka terkena angin limbubu dahsyat. Korban berjatuhan. Istri sedih, anak malu, ayah-bunda bertanya, "Apa salah anak saya?" Orang kampung pun bergunjing, "Baa 'ndak jadi pejabat 'rang kampuang kito lai, yo?"
"Sekali air besar, tepian berubah". Tepatkah pepatah ini ditujukan kepada mereka yang non-job?
Luar biasa menyakitkan terasa bagi mereka yang tidak lagi diberi kepercayaan mengabdi. Jadilah, mereka yang non-job tersebut gundah dan gulana kesendirian meski tetap didampingi istri ataupun suami yang setia.
Dari selama ini kesibukan luar biasa, tidak tentu siang atau malam menyukseskan program dan pengabdian, nyatanya setelah non-job, keadaan berubah. Boleh jadi mereka disebut PNS tanpa kerja, PNS pengangguran, PNS korban Pilkada, dan sebutan lainnya. Semuanya itu sekarang tampak nyata.
Beragam pelatihan, pendidikan, orientasi, dan program berkaitan dengan jenjang karir lengkap dilalui dan diikuti pejabat tersebut. Nyatanya kini, ‘istirahatlah’ dulu. Silakan ‘kumpul’ di Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Duduk, baca koran, nonton TV, teken absen, apel. Begitu keseharian mereka yang non-job.
Sebenarnya, pimpinan daerah yang melaksanakan kerja 'galodo' menon-jobkan pejabat tanpa ada kesalahan jelas sangat disesalkan. Bagaimanapun juga, loyalitas PNS pada atasan, sesuai dengan aturan dan UU Kepegawaian, mutlak dan wajib dipatuhi semua PNS. Nyatanya, dengan pilkada, ada yang semestinya tidak perlu terjadi. Yaitu, memberikan ‘hak veto’ pada pejabat terpilih untuk mengacak-acak lembaga yang dipimpinnya, memberhentikan, menukar, dan menonjobkan tanpa dasar aturan yang jelas.
Dalam menyukseskan Pilkada, sebenarnya di lingkungan PNS sudah ada aturan baku. Tidak boleh memihak pada calon kepala daerah. Namun, PNS diharapkan terus melaksanakan program kerja yang sudah ada pedomannya.
Nyatanya apa? Kepala daerah terpilih sudah jelas. Dilaluinya semua tahapannya. Dilantik dan berlanjut memilih staf. Di sinilah bermunculan beragam intrik. Disebutlah ada yang tidak loyal. Ganti saja. Non-Job kan serta beragam 'parasaian' dirasakan oleh mereka yang tidak dipercaya lagi 'sehilir semudik' dalam mengendalikan lembaga pemerintahan.
Terus terang saja, pejabat berkuasa ada yang malas melihat keseharian PNS yang dinon-jobkannya. Begitu memprihatinkan.
Akan tetapi, di saat PNS korban non-job banyak terdapat di beragam daerah, masih ada kepala daerah hasil pilkada yang tidak melaksanakan 'gerakan galodo' tersebut. Yang bersangkutan selektif dalam melaksanakan mutasi, rolling, ataupun melantik pejabat baru.
Yang bersangkutan tidak sakit hati. Ini yang baik. Tidak ada gejolak. Tidak ada pergunjingan. Beres-beres saja. Biasanya 'pejabat tenang' ini adalah dari kalangan pamong senior atau swastawan yang arif dan bijaksana. Kalau gemuk tidak membuang lemak. Kalau pandai tidak sombong. Pepatah Minang pun jadi pegangannya. Yang buta 'paambuih lasuang’, yang lumpuh ‘pangajuik ayam’, yang pekak ’panembak badia’. Ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun.
Bagi pejabat yang seperti ‘kacang diabuih ciek, kok langan lah bak langan, mamarintah sarupo rajo dirajo, awak se nan hebaik’, inilah yang berbahaya dalam suatu pemerintahan. Tokoh seperti ini luar biasa. Bukan staf saja diutak-atiknya, orang lain pun disuruhnya pindah dari daerahnya. Kontraktor tidak diberinya kerja sebaliknya familinya diprioritaskan dalam beragam pelayanan. Ada pula wartawan yang disudutkannya.
Pemimpin yang bijaksana adalah tokoh memerintah penuh kearifan dan pengertian. Biduk lalu kiambang bertaut’. Semuanya adalah kawan yang dibutuhkan untuk bekerjasama membangun daerah. Tidak ada iri dan dengki. Inilah pemimpin hebat, sejahtera di dunia, masuk surga di akhirat.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H