Mohon tunggu...
Adi Bermasa
Adi Bermasa Mohon Tunggu... Jurnalis - mengamati dan mencermati

Aktif menulis, pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Umum Koran Padang, Redpel & Litbang di Harian Umum Singgalang, sekarang mengabdi di organisasi sosial kemasyarakatan LKKS Sumbar, Gerakan Bela Negara (GBN) Sumbar, dll.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Padang Butuh “Revolusi Lalu Lintas”

3 Januari 2017   21:14 Diperbarui: 4 Januari 2017   05:10 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padang kini penduduknya mendekati satu juta. Ditambah dengan kunjungan wisatawan yang terus meningkat, menjadikan Ibu Kota Provinsi Sumatra Barat ini dapat julukan baru sebagai 'kota macet'. Sebab, hampir setiap saat di berbagai ruas jalan di kota itu terjadi kemacetan. Di antaranya Jalan Hamka, Jalan Perintis Kemerdekaan terus ke Alai, sampai ke Siteba. Lebih memusingkan lagi ketika 'pejabat tinggi' datang, kondisinya sungguh memprihatinkan. Bisa saja mobil terkurung berjam-jam di jalanan. Dongkol pun tidak keruan bermunculan dari pengguna kendaraan yang menderita karena jadi korban kemacetan.

Kemacetan yang disebabkan kedatangan 'tamu negara' sebenarnya tidaklah rutinitas. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Namun justru kemacetan yang disebabkan kelalaian banyak pihak pemakai jalan dan pemerintah yang kurang bijaksana yang sering terjadi setiap saat, terlebih pada jam-jam sibuk.

Alangkah lebih baiknya lembaga pemerintahan yang bertugas mengatur kelancaran berlalulintas di kota tercinta ini punya kearifan maksimal dalam mengatasi problema yang memusingkan di jalan raya.

Jalur Bypass

Boleh dikatakan, di perempatan jalur Bypass setiap waktu terjadi kemacetan. Sebab, tidak ada ada yang mengatur lalulintas di persimpangan yang menjadi titik macet tersebut.

Kemacetan yang terjadi karena tidak ada traffic light pada perempatan yang lalulintasnya ramai mungkin bisa dimaklumi karena jalan Byoass itu tengah dalam pembangunan. Namun, dikhawatirkan, ketika jalan sudah mulus dan lampu lalulintas sudah tersedia, tapi lalulintas tetap saja 'silangpintang'.

Kalau kita ‘berbodoh-bodoh’ saja dengan menganggap ruas jalan bypass adalah jalan tol, tentu tidak perlu ada lampu pengatur lalulintas. Di sinilah perlunya dimunculkan 'revolusi lalulintas'. Caranya, Bypass tidak butuh lampu pengatur lalulintas. Tapi, beranikah kita ataupun aparat berwenang 'membunuh' seluruh perempatan dengan memunculkan taman bunga persis di seluruh persimpangan? Apakah hal demikian sudah terpikirkan oleh pemegang kebijaksanaan di kota tercinta ini?

Sebenarnya 'membunuh' areal persimpangan di Bypass adalah suatu ‘revolusi’ yang menguntungkan banyak kepentingan. Sebab, lampu lalulintas tidak diperlukan lagi sekaligus dapat mengurangi beban belanja. Begitu juga tidak ada 'waktu tunggu' seperti ketika lampu merah menyala.

Hanya saja, kendaraan yang berjalan lurus atau belok kanan di persimpangan wajib dulu belok kiri menjelang ada belokan ke kanan yang mungkin jaraknya diatur sekitar 100 meter dari persimpangan. Memang, dibutuhkan kehati-hatian pengemudi saat belok kanan menjelang posisi kendaraan stabil menjelang persimpangan di mana sopir ingin belok kiri atau lurus.

Wacana revolusi lalulintas yang seperti itu kiranya tepat dilakukan pada jalur Bypass yang frekuensi kendaraannya cukup tinggi. Jika 'revolusi lalulintas' itu mampu dimunculkan lembaga berwenang, pasti jadi catatan sejarah perkembangan kota tercinta ini.

Satu Jalur

Jalan raya yang sudah super sibuk dan sempit di Padang sudah pantas dijadikan satu arah. Di antaranya Jalan Ujung Gurun, Jalan Ahmad Yani, dan ruas jalan lainnya yang ramai lalulintasnya hilir-mudik.

Khusus Jalan Ujung Gurun, sungguh luar biasa sibuknya. Di samping padatnya lalulintas, ruas jalan itu juga berfungsi sebagai tempat parkir. Bahkan ada lagi SD negeri yang menjadikan jalan raya di depan SD itu jadi tempat parkir bagi orangtua murid untuk mengantar dan menjemput anaknya pulang sekolah. Di sana ada pula PKL yang menjual beragam jajanan anak sekolah. 

Kondisi serupa juga ditemui di Jalan Ahmad Yani. Sehingga, pantas pula dijadikan satu jalur. Hanya saja, di sana ada rumah dinas Walikota. Namun kiranya hal itu tidak akan jadi masalah. Sebab, Pak Wali tentu butuh kenyamanan berlalulintas dengan menggunakan sistem satu arah. Bahkan, untuk kenyamanan warga kota, biasanya lembaga pemerintahan cepat memberi persetujuan.

Lain lagi permasalahan kemacetan di Jalan Perintis Kemerdekaan sampai ke Siteba terus ke Bypass. Problemanya, jalannya sudah telalu sempit dibanding volume kendaraan yang padat tiap saat.

Sebenarnya, sudah ada ide dulu dari Kepala Dinas Perhubungan Kota Padang dengan jalan itu dua jalur. Caranya, 'menembok kuat' bandar Jati dan memaksimalkan jalan pinggiran yang sempit karena sudah dijadikan tempat usaha, kedai, dan pertokoan. Tentu, melaksanakan program ini butuh dana besar.

Belum lagi kawasan Simpang Tinju yang luar biasa macetnya pada jam-jam sibuk. Diakui, persoalan di kawasan itu belum ada titik terangnya. Entah jalan itu diperlebar sampai ke Alai, wallahualam.

Dalam hal ini kita belum bicara masalah perparkiran, angkot yang rewel, dan terminal angkot yang kurang dicintai. Bagaimana pula dengan upaya memaksimalkan Trans Padang? Termasuk jalur ke Unand yang juga butuh bus Trans Padang dan parkir modern, serta beragam problema lalulintas lainnya.

Bagaimanapun juga, Padang butuh ‘revolusi lalulintas’. Kita tunggu, tapi sampai kapan? Atau kita tega kota tercinta ini semakin memusingkan kondisi lalulintasnya? *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun