Mohon tunggu...
Adi Bermasa
Adi Bermasa Mohon Tunggu... Jurnalis - mengamati dan mencermati

Aktif menulis, pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Umum Koran Padang, Redpel & Litbang di Harian Umum Singgalang, sekarang mengabdi di organisasi sosial kemasyarakatan LKKS Sumbar, Gerakan Bela Negara (GBN) Sumbar, dll.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menanti Kesuksesan "Desaku Menanti"

30 Desember 2016   21:53 Diperbarui: 31 Desember 2016   00:41 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga binaan bergotongroyong mengangkut bahan bangunan karena parahnya kerusakan jalan sehingga menyulitkan kendaraan sampai ke lokasi perumahan. (DOK. PRIBADI)

Problema sosial yang menjangkit Indonesia sebenarnya sangat memprihatinkan. Beragam kehidupan yang tidak layak cukup banyak dirasakan anak negeri ini. Tapi, apa boleh buat. Siapa yang pantas disalahkan? Jawaban inilah yang perlu membutuhkan kerja terus menerus, baik dari pemerintah maupun dari warga bersangkutan.

Sudah sangat banyak program pemerintah yang dilaksanakan untuk mengatasi beragam problema kemiskinan yang mendera anak bangsa yang besar ini. Meski tertatih-tatih, penemuan baru berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan terus dimunculkan. Namun kenyataan di lapangan, tidak semua program tersebut berjalan mulus. Beragam hambatan dan problema muncul silih berganti.

Sebenarnya, dari beragam problema hambatan dan tantangan yang menyebabkan program itu tidak mencapai hasil maksimal berkaitan erat dengan 'sikap mental' dari warga yang jadi sasaran pengentasan problema sosial itu sendiri. Ditambah dengan penempatan program yang analisanya tidak begitu matang.

Khusus di Sumatra Barat, ada program Kementerian Sosial sekitar 25 tahun lalu berupa pemukiman bagi gelandangan dan pengemis (gepeng) di Pisang Hutan, Sasak (kini Pasaman Barat). Gelandangan itu dikirim dari Jakarta. Mereka adalah warga yang kesehariannya mengemis ataupun bekerja serabutan di ibukota negara tersebut.

Di masa awal-awal bermukim, mereka memang betah menggarap lahan untuk pertanian ataupun perkebunan. Maklum, di tahun-tahun awal bermukim di Pisang Hutan itu, boleh dikatakan semuanya betah. Sebab, biaya hidup mereka disupport terus oleh pihak kementerian.

Namun, apa yang terjadi setelah support biaya hidup tidak ada lagi? Satu persatu warga binaan itu hilang. Mereka kembali ke habitatnya di Jakarta. Mengemis lagi. Yang berhasil bermukim di Pisang Hutan ini adalah 'warga dhuafa pendamping' yang ditetapkan Kanwil Sosial Sumbar dulunya dari kampung sekitar kawasan tersebut.

Memindahkan warga dhuafa yang sudah keenakan hidup di kota besar seperti Jakarta ke pedalaman jauh dari kebisingan dan hiruk-pikuk kehidupan ternyata tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Itulah program pemukiman gelandangan dan pengemis di Pisang Hutan.

Sekarang, sistem pemukiman dan mensejahterakan gelandangan dan pengemis programnya sudah keren. Namanya 'Desaku Menanti'. Hanya saja, warga binaannya tidak lagi ‘dropping’ dari luar provinsi. Cukup warga dhuafa, pekerja serabutan, serta gelandangan dan pengemis yang ada di ibukota provinsi.

Warga binaan bergotongroyong mengangkut bahan bangunan karena parahnya kerusakan jalan sehingga menyulitkan kendaraan sampai ke lokasi perumahan. (DOK. PRIBADI)
Warga binaan bergotongroyong mengangkut bahan bangunan karena parahnya kerusakan jalan sehingga menyulitkan kendaraan sampai ke lokasi perumahan. (DOK. PRIBADI)
Program 'Desaku Menanti' itu dilaksanakan di Kelurahan Balaigadang, Kecamatan Kototangah, Kota Padang. Beruntunglah 40 KK warga binaan yang lolos seleksi untuk menetap di 'Desaku Menanti' itu. Selama 60 hari mereka dibina dengan beragam pelatihan sesuai pilihannya masing-masing. Ada yang berusaha dalam bidang ekonomi produktif, perbengkelan, montir, tukang, kuliner, perikanan, dan peternakan.

Mereka juga mendapatkan bantuan dana untuk berusaha. Tentu saja mereka diharapkan bekerja maksimal. Silahkan mencari tempat usaha di mana suka. Apalagi berusaha di pusat kota yang hanya berjarak sekitar 40 menit perjalanan dari pemukiman tersebut.

Di sinilah nantinya dapat diketahui siapa-siapa saja yang sukses di antara 40 KK itu. Sebab, fasilitas yang diberikan pemerintah sudah luar biasa. Mulai dari tempat tinggal sampai modal usaha.

Kalau tidak berhasil juga, sungguh malanglah mereka. Jangan sampai Allah disalahkan. Bisa saja 'rasa syukur' tidak dimiliki. Sebab, sifat pemalas, tidak menghargai waktu, hidup boros, dan kerja negatif lainnya mungkin saja masih akrab dengan warga binaan tersebut.

Sabtu hari ini, ke-40 KK peserta program ‘Desaku Menanti’ itu mengikuti lotting rumah yanq dihadiri langsung Pejabat Kementerian Sosial bersama Walikota Padang H. Mahyeldi Ansyarullah dan pejabat pemerintah lainnya serta para pemuka masyarakat Kota Padang. 

Warga yang bermukim di kawasan 'Desaku Menanti' ini diharapkan sukses 'manaruko' kehidupan baru. Giatlah, bersyukurlah, berdoalah, bekerjalah, dan berzakatlah, pada waktunya. Insyaallah. *

SEBANYAK 40 rumah sederhana untuk pemukiman warga dhuafa, pekerja serabutan, gelandangan dan pengemis dibangun Kementerian Sosial di atas tanah yang disediakan Pemko Padang selaus dua hektar di Kelurahan Balaigadang, Kota Padang, Sumatera Barat. (DOK. PRIBADI)
SEBANYAK 40 rumah sederhana untuk pemukiman warga dhuafa, pekerja serabutan, gelandangan dan pengemis dibangun Kementerian Sosial di atas tanah yang disediakan Pemko Padang selaus dua hektar di Kelurahan Balaigadang, Kota Padang, Sumatera Barat. (DOK. PRIBADI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun