Mohon tunggu...
Adi Bermasa
Adi Bermasa Mohon Tunggu... Jurnalis - mengamati dan mencermati

Aktif menulis, pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Umum Koran Padang, Redpel & Litbang di Harian Umum Singgalang, sekarang mengabdi di organisasi sosial kemasyarakatan LKKS Sumbar, Gerakan Bela Negara (GBN) Sumbar, dll.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pungutan Liar Sudah Jinak, Ada di Mana Saja?

13 Oktober 2016   18:23 Diperbarui: 13 Oktober 2016   19:53 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Batang Agam di Payakumbuh, Sumatra Barat. Usianya sudah mendekati 200 tahun. Masih kokoh hingga saat ini karena dibangun tanpa ada pungutan liar dan konkalikong. (FOTO: ADI BERMASA)

Tidak sedikit terjadi hancur, runtuh, dan berpetai-petainya proyek fisik yang dibangun pemerintah di negeri ini. Tersebutlah 'jembatan Kutai Kartanegara' yang runtuh dan banyak lagi yang lainnya. Semuanya itu diduga kuat tidak terlepas dari 'permainan' beragam 'orang cerdik (buruk)' di negeri ini.

Jangan disebut lagi beragam pungutan liar di jalan negara, provinsi, kabupaten, kota, dan desa di negeri ini yang tumbuh subur sepanjang masa. Kalau tidak diberi, awas, bisa celaka.

Bahkan di Bandara Internasional Minangkabau (BIM), terang-terangan pungutan tersebut. Siapa saja pendatang yang berencana naik taksi, apa saja mereknya, langsung dipungut Rp15.000 per taksi. Hal ini sudah berlsngsung lama namun dibiarkan saja meski tidak ada aturan resminya.

Kalaulah pemerintahan era Presiden Joko Widodo mampu menghabisi semua pungutan liar di negeri ini, tentu rakyat bangga. Pemerintah sukses membasmi beragam aksi kejahatan bermotif uang tersebut.

Bagaimanapun juga, kekhawatiran tetap ada jika pemberantasan pungli itu sifatnya pesanan yang dibuktikan ketika aksi lanjutan tidak ada lagi.

Ada ungkapan klasik, kalau ada pungutan liar, tolong laporkan, lampirkan buktinya. Kalau begini, karamlah rakyat. Sebab resikonya sangat besar. Yang terbaik, fungsikan intelijen, mata-mata, dan tim penyidik secara maksimal. Mereka kan digaji untuk itu. Kok rakyat pula dibebani? Kalau itu yang terjadi, sama dengan 'uwir-uwir minta getah'.Yang terjerat adalah mereka yang tidak bersalah. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun