Silih berganti saja terjadi konflik sosial antar masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Banyak kerugian yang timbul. Darah tertumpah. Bangunan dibakar. Aparat terluka. Bhkan ada yang tewas. Provokator senang, rakyat rusuh dan kecewa. Aparat cenderung tampil terlambat menguasai keadaan. Memprihatinkan.
Selesai masalah di suatu daerah, muncul lagi di tempat lain. Begitu akrabnya konflik dengan masyarakat saat ini. Mereka jadinya saling bermusuhan. Memakan waktu menyelesaikannya. Lebih mengecewakan lagi, butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kembali fasilitas warga yang hancur karena terbakar atau dibakar. Tidak pandang rumah ibadah atau bangunan pemerintahan. Bangunan yang hangus karena terbakar dan hancur porak-poranda sudah jadi pemandangan biasa di lokasi konflik.
Kita harus mengakui, pelaku, provokator ataupun sutradara di balik musibah itu cepat diketahui dan diamankan, diproses, berlanjut ke meja sidang pengadilan. Hukuman pun jatuh, meringkuklah 'sutradara' peristiwa itu bertahun-tahun di penjara.
Kita juga salut pada aparat yang sukses memproses pelaku utama dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hanya saja, kita prihatin dengan seringnya aparat pemerintahan terlambat. Mereka baru tiba di lokasi saat warga sudah berkecamuk dengan beragam kebengisannya.
Sebenarnya, peristiwa demi persitiwa kerusuhan yang terus terjadi di berbagai daerah cenderung diawali hanya oleh peristiwa kecil-kecilan saja. Misalnya belum duduknya batas wilayah, kurangnya pengertian dalam pelaksanaan ibadah, persoalan jual-beli tanah yang bertele-tele, dan kurangnya saling harga-menghargai satu sama lain dalam komunitas kemayarakatan. ‘Hanya’ itu penyebab utamanya yang akhirnya bergejolaklah negeri tersebut. Heboh.
Bagaimanapun, pemerintah dengan beragam aparatnya perlu mengevaluasi ataupun menganalisa dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Tidak usah mengambinghitamkan sekelompok komunitas. Tidak usah aparat menuding provokator secara berlebihan. Tapi, lebih dari itu, sudahkah semua aparat pemerintah yang ditugaskan di lapangan bekerja maksimal 'memonitor' secara teratur dan terus menerus perkembangan yang terjadi?
Bahkan, di tingkat akar rumput pemerintah sebenarnya sudah punya aparat yang digaji dengan uang negara. Ada aparat Babinkamtibmas dari kepolisian. Ada Babinsa dari TNI. Ada lurah, kepala desa, walinagari, RT, RW, dan banyak lagi. Semuanya punya tanggungjawab yang sudah sangat jelas. Semua mereka itu bertugas untuk mengamankan warga supaya mereka terjauh dari beragam problema yang merugikan. Sungguh mulia tugas aparat pmerintahan di lapangan tersebut.
Nyatanya, dari beragam 'peristiwa memilukan' yang terjadi di negeri yang kita cintai ini, terbukti bahwa aparat tidak begitu peka dengan lingkungannya. Mereka tidak arif dengan ‘bisik-bisik’ warga. Mereka kurang memonitor keseharian warga dan tidak tahu dengan curahan serta kekesalan warga. Bisa jadi,aparat di bawah mengambil jarak dengan warga yang sebenarnya aparat mesti wajib dekat dengan masyarakat.
Jika aparat terdepan mengambil jarak dengan warganya, maka sudah hampir dapat dipastikan masyarakat berkelompok sesamanya memutuskan kehendaknya, termasuk 'melawan' arus pemerintahan.
Seandainya aparat 'terdepan' arif dengan keseharian warga lingkungannya, tentu semua problema yang ada bisa dipecahkan bersama. Kalau tak mampu aparat di lapangan, cepat laporkan ke tingkat atas. Sehingga semua kemungkinan efek negatif bisa dicegah.
Aparat pemerintahan yang berada di garda terdepan jangan terus-terusan 'tidak mau tahu' dengan warga lingkungannya, terutama di daerah rawan konflik. Percayalah, apa yang sering terjadi di berberbagai daerah di tanah air dikhwatirkan bisa saja terus terjadi dengan corak yang mungkin saja berbeda-beda. *