Komunis itu haram. Berdosa hukumnya bagi penganut komunis. Sebab ajaran yang dipeluk pengikut komunis sangat bertentangan dengan agama apapun di dunia. Apalagi di Indonesia, sudah sejak lama ajaran komunis itu diharamkan.
Di negara Pancasila ini sudah diikrarkan bahwa ajaran komunis itu terlarang. Oleh sebab itu, jangan lagi ada di antara anak bangsa ini yang coba-coba 'main api' untuk memunculkan ideologi komunis. Sangat berbahaya. Yang bersangkutan pasti berhadapan dengan aparat dan rakyat yang anti komunis. Di negara asalnya sendiri, komunis itu sudah redup. Apalagi di Indonesia, yang sudah berikrar tidak lagi menerima paham komunis menyesatkan tersebut.
Sudahlah. Bagi minoritas anak bangsa yang berusaha membuat komunis tampil lagi, hal demikian merupakan kerja sia-sia.
Mereka, anak dan keturunan keluarga berpaham komunis, tidak usahlah mencari ‘ilik-ilik' dengan menampilkan ciri komunis seperti lambang 'palu arit'. Buanglah lambang tersebut. Berbahaya kalau dipamerkan. Apalagi dibangga-banggakan.
Anda, yang mungkin saja masih kecil, tentu belum merasakan bahaya komunis tersebut. Ajarannya adalah marxis. Anti Tuhan. Di negeri ini, semua warganya adalah pemeluk agama resmi. Oleh sebab itu, tidak usahlah di antara anak bangsa ini, yang mungkin saja 'keturunan komunis' berusaha 'menepuk air di dulang' dengan memunculkan lagi cara dan gerakan berbau komunis. Apalagi, Indonesia berdasarkan Pancasila. Tidak boleh bermukim di negeri ini penduduk yang anti Tuhan, maksudnya komunis.
Jangan paham komunis disebarkan lagi di negeri ini. Korban kebiadaban komunis sudah memporak-porandakan penduduk di negeri ini. Era PRRI, yang membonceng di dalamnya OPR (Organisasi Pengamanan Rakyat), luar biasa kejamnya. Yang jadi sasaran utama adalah cendekiawan yang teguh pendirian ke-Islamannya, warga Masyumi. Sungguh banyak yang mati tidak tahu rimbanya. Dibunuh dengan biadab. Dipotong lehernya. Digantung, setelah ditembak. Sungguh kejam peristiwa tahun 1958- 1960 di berbagai kawasan di Ranah Minangkabau. Hukum rimba luar biasa.
Meski penulis pada tahun 1958 masih berusia tujuh tahun, tapi sudah melihat dengan mata kepala sendiri korban tembakan OPR digantung, yang sebelumnya ditembak, bernama 'Main'. Sehari-semalam mayat Main digantung di sudut Sekolah Rakyat di Padangjapang Vll Koto Talago, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota. Adalagi, kepala dalam 'kambuik' digantungkan, selanjutnya dikuburkan oleh orangtua penulis (Bermawi), juga di Padangjapang. Luar biasa kejamnya OPR yang membonceng dengan pasukan 'tentara pusat' yang waktu itu tergabung dengan pasukan Diponegoro dari Jawa Tengah.
Di Indonesia, era kejayaan komunis bersamaan dengan penghancuran PRRI tahun 1958 sampai tahun 1965. Hal demikian tidak bisa dipungkiri. Buya HAMKA pun dipenjarakan bawah tanah tanpa diadili lebih dahulu. Begitu juga cendekiawan Islam dunia, Mohammad Natsir, luar biasa menderitanya. Pak Natsir baru dibebaskan setelah Pak Harto berhasil menumpas kesewenang- wenangan PKI dengan Gerakan 30 Septembernya.
Pemboncengan OPR yang muncul bersamaan menghabisi PRRI di Minangkabau luar biasa menelan korban yang kebanyakan mereka adalah cendekiawan Islam.
Kalaulah ditulis per daerah di Sumatra Barat keganasan OPR selama 1958-1960 dan berlanjut masa jayanya Komunis sampai 1965, sungguh luar biasa kisahnya. Namun sayang, sampai sekarang hal demikian belum terwujud. Entah siapa akan mensponsori.
Membangkitkan gerakan 'palu arit', hal demikian sebagai pertanda 'uir-uir minta getah'. Mari kita buka-bukaan, siapa yang jahat di negeri ini. Silahkan saja pemerintah jadi mediator. Tapi, apakah hal demikian tidak membuat luka lama berdarah lagi. Sungguh suatu ironis yang akhirnya pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla akan habis waktunya hanya untuk berdebat yang tidak jelas akhirnya.
Tapi, kalau kuat juga di antara penguasa kini untuk menggali kuburan massal, apakah tidak akan ditertawakan sebagai mencari harta karun yang tidak jelas, antara ada atau tidak. Tapi, kalau kuat juga, silahkan. Dan rekalah: Apalagi yang akan muncul di negeri ini!? *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H