Mohon tunggu...
Adi Bermasa
Adi Bermasa Mohon Tunggu... Jurnalis - mengamati dan mencermati

Aktif menulis, pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Umum Koran Padang, Redpel & Litbang di Harian Umum Singgalang, sekarang mengabdi di organisasi sosial kemasyarakatan LKKS Sumbar, Gerakan Bela Negara (GBN) Sumbar, dll.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkada Usai, PNS Sijunjung Mulai Gregetan

4 Januari 2016   13:14 Diperbarui: 4 Januari 2016   20:58 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - mutasi pegawai (Shutterstock)

SIJUNJUNG salah satu kabupaten di pedalaman Sumatera Barat. Terletak di kawasan selatan, sekitar 150 kilometer dari ibu kota provinsi, Padang. Selama ini Kabupaten Sijunjung terbilang tenang suasananya. Terjauh dari hiruk-pikuk kegaduhan meski daerah ini dibelah jalan Lintas Sumatera, yang kesibukan lalu lintasnya berlangsung 24 jam. Namun, warganya yang mayoritas petani karet, sawit, sawah serta peternak, sejak Senin (4/1) mulai terusik oleh ucapan Bupati terpilih periode kedua, hasil Pilkada, Yuswir Arifin.

Dalam penerbitan surat kabar berpengaruh di Sumatera Barat, Harian Singgalang, Yuswir Arifin mengatakan bahwa setelah dilantik nanti, sebagian besar pejabat Sijunjung akan diganti. Dikatakannya, dari 25 Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), kecuali enam orang. Hanya yang enam orang itu yang sependapat dengan kami, kata Yuswir Arifin. Selebihnya berseberangan. Yang berseberangan itulah yang akan kita seberangkan pada mutasi yang akan digulir, supaya mereka sampai di tempat tujuan.

Tampaknya pejabat di Sijunjung selama tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kurang sekali pemahamannya kepada aturan yang berlaku, berkaitan dengan peran PNS selama tahapan Pilkada berlangsung, yang menyebutkan bahwa PNS tidak boleh melakukan pemihakan kepada calon. Arti kata, PNS harus netral. Namun demikian, Bupati Yuswir Arifin yang sukses lagi menduduki kursi Bupati periode ll juga menyebutkan dari 25 SKPD tersebut hanya enam orang yang sependapat dengan kami. Begitu diberitakan Harian Singgalang.

Apakah maksudnya yang enam orang pejabat itu yang sependapat dengan kami, seperti disebutkan Bupati terpilih, sama dengan pemihakan? Sebab, yang enam pejabat itu yang sependapat, apakah sama dengan berpihak kepada Yuswir Arifin selama tahapan Pilkada? Kalau itu terjemahannya, berarti enam kepala SKPD tersebut juga termasuk tidak taat aturan, karena yang bersangkutan melakukan pemihakan kepada Bupati petahana selama masa tahapan Pilkada sedang berlangsung.

Termasuk mayoritas SKPD yang berjumlah 19 orang, apakah mereka tersebut punya kegiatan membantu calon lainnya? Inilah yang belum begitu jelas, keadaan yang sebenarnya. Sebab, 19 SKPD tersebut tidak bereaksi apa-apa, atau tidak memberikan sokongan nyata pada petahana, apakah hal demikian sudah bisa dianggap sebagai 'berseberangan'? Belum tentu. Sebab, dalam ketentuannya, aparat pemerintah tidak diperbolehkan memberikan dukungan kepada salah satu calon. Dengan arti kata, PNS wajib independen. Tidak boleh memihak.

Kalau memang ada buktinya, mayoritas SKPD Sijunjung melakukan pemihakan kepada salah satu calon bupati, tentu SKPD bersangkutan sangat pantas ditegur oleh Panwaslu setempat. Sebab yang berhak menjatuhkan sanksi awal terhadap PNS yang melakukan keberpihakan hanyalah Panwaslu.

Kalau ternyata Panwaslu sudah memproses SKPD bersangkutan, memang tidak netral, barulah Bupati terpilih memberikan sanksi sesuai dengan kesalahan mereka tersebut.

Sangat disayangkan, kalau bupati terpilih hanya mendengarkan laporan dari tim sukses semata, jelas tim sukses punya keterikatan atau keberpihakan maksimal kepada Bupati terpilih. Tentu, setelah Bupati terpilih, setelah dilantik nanti, berlanjut 'menyeberangkan' SKPD yang dianggap tidak loyal tersebut, tentu akan memunculkan persoalan baru pula. Minimal terjadi gejolak, yang bisa saja berlanjut ke sidang PTUN. Mereka yang diberhentikan itu bereaksi, dan meminta bukti-bukti kesalahan mereka lakukan selama tahapan Pilkada.

Kalau ada buktinya, syukur. Sebaliknya, hanya mengada-ada, jelas memperkeruh suasana selesai Pilkada. Gejolak 'api dalam sekam' yang sewaktu-waktu jelas memperjelek jalannya roda pemerintahan.

Bayangkan saja, 19 Kepala SKPD dinonjobkan, termasuk luar biasa.

Sebaiknya, habisilah 'emosi Pilkada' tersebut. Sebab, menonjobkan PNS tanpa dasar yang jelas, hal demikian merupakan kegagalan tugas seorang pamong. Jelas tidak diinginkan oleh pemerintahan yang lebih atas. Lain halnya PNS bersangkutan sifatnya 'dikaryakan'. Tentu bisa dipulangkan ke induk pasukan atau ke lembaganya semula. Tapi, mereka yang dinonjobkan tersebut adalah PNS di kantor Bupati bersangkutan, jadilah mereka 'luntang-lantung' saja di kantor, tanpa kerja apa-apa.

Sebenarnya men-nonjobkan PNS tanpa ada kesalahan, juga adalah pukulan bagi atasan bersangkutan. Termasuk gagal membina staf untuk taat pada aturan kepegawaian yang sudah baku.

Boleh-boleh saja seorang pimpinan melakukan mutasi dengan dalih yang tidak kuat alasannya, tapi, percayalah, atasan yang mengeluarkan surat keputusan tersebut juga merasa was-was selalu dalam dirinya. Maklum saja, sebelum telanjur melakukan kebijaksanaan yang tidak populer, sebaiknya tempuhlah dulu 'jalan terbaik' yang menguntungkan banyak pihak.

Apa yang sudah muncul ke permukaan, berkaitan problema PNS tentang Pilkada di Sijunjung, Sumatera Barat, diperkirakan muncul juga di berbagai daerah dan provinsi di Indonesia. Sangat disayangkan, Pilkada memunculkan hukuman atau pesakitan bagi PNS yang belum tentu bersalah dan berdosa. Memprihatinkan! *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun