Pada awalnya peralihan fungsi-fungsi lahan pertanian rakyat menjadi lahan bagi komoditas kapitalisme internasional dilakukan dengan sistem sewa. Baru kemudian ketika kekuasaan pemerintahan kolonial Hindia Belanda terkonsolidir, muncul produk-produk hukum tentang agraria.
Seperti pada umumnya dalam masyarakat feodal para petani memiliki keterikatan dalam pemilikan alat-alat produksi dan hubungan-hubungan produksi dengan pihak bangsawan. Maka, ketika VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie/Perserikatan Maskapai Hindia Timur) berhasil menjadi kekuatan yang berpengaruh di istana (inner cycle kekuasaan feodalisme), VOC mempergunakan para bangsawan sebagai kepanjangan dari operasi ekonomi-politiknya dalam rangka membangun cara produksi kolonial (mode of production colonial).Â
Hal tersebut (dalam pengamatan seorang Indonesianis, George Mc Turnan Kahin) dapat terlihat bagaimana para bangsawan menyewakan tanah atau lahan kepada orang Barat atau orang Cina hingga ribuan desa bahkan setingkat distrik atau regent, sehingga kedudukan sang penyewa setingkat bupati, akan tetapi hubungan antara petani dan tuan tanah asing tersebut bukannya antara penyewa dengan yang disewa, akan tetapi bersifat semi feodal yang akan menundukkan petani dengan kekuatan bersenjata.
[1] Maurice Dobb menyebutnya sebagai bentuk-bentuk ekstra ekonomi, yaitu perhambaan/selfdom. Sedangkan Paul Sweezy menekankan pada pertumbuhan produksi untuk pertukaran/exchange.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H