Indonesia merupakan negara strategis yang terletak di antara dua benua yaitu benua Australia dan benua Asia, dua samudera yaitu samudera Hindia dan samudera Pasifik, serta dua lempeng bumi yaitu sirkum pasifik dan sirkum mediterania.Â
Letak geografis ini menguntungkan dari segi ekonomi, akan tetapi juga mempunyai potensi negatif yaitu rentan terjadi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung berapi, angin puting beliung, dan tanah longsor.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat adanya tren kenaikan jumlah kejadian bencana di Indonesia mulai dari tahun 2003 hingga tahun 2017 lalu.Â
Sepanjang tahun 2017 sendiri, terdapat 2.372 kejadian bencana yang didominasi oleh bencana alam seperti banjir, longsor, dan puting beliung. Bahkan di bulan Januari 2021 ini, sudah ada sekitar 197 bencana di Indonesia. Tak jarang headline bencana menjadi hal yang sudah biasa muncul di timeline berita.
Terjadinya bencana tentu berdampak besar bagi kehidupan masyarakat di daerah terdampak. Berbagai aktivitas sehari-hari menjadi terhambat dan terbatas. Namun di tengah masa darurat, pangan dan kesehatan merupakan hal yang penting untuk keberlangsungan hidup penyintas bencana. Keduanya mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Pemerintah dengan BNPB sebagai koordinator penanggulangan bencana dan beberapa instansi swasta mempunyai peran yang besar dalam pemberian bantuan untuk penyintas bencana.Â
Jenis makanan yang biasanya didistribusikan pada fase tanggap darurat awal adalah makanan instan dan susu balita. Namun pada kondisi tersebut, beberapa daerah sulit mengakses air bersih dan air tersebut tetap digunakan untuk mengolah makanan.
Akibatnya, banyak penyintas terutama pada populasi rentan seperti balita, ibu hamil/menyusui, dan lansia akan mengalami diare, muntaber, dan risiko malnutrisi juga meningkat. Sehingga jenis makanan tersebut tidak cocok diberikan pada saat kondisi itu. Oleh karenanya, dibutuhkan jenis makanan lain yang aman, dalam jumlah yang cukup, dan kualitas yang memadai dan tidak mengabaikan faktor kebiasaan makan, daya terima, ketersediaan, dan bisa siap santap.
Pada beberapa negara maju telah banyak beredar produk pangan darurat atau sering dikenal dengan Emergency Food Product (EFP). Produk ini dirancang untuk bisa langsung disantap dan mampu memenuhi kebutuhan energi harian pengungsi korban bencana. EFP biasanya dapat berupa food bar, ransum kaleng, ataupun makanan lain berbentuk intermediate moisture food (IMF) seperti biskuit.
WHO telah menetapkan rekomendasi kecukupan gizi yang digunakan sebagai acuan pemberian makanan untuk penyintas bencana yaitu harus mencukupi energi sebesar 2100 kcal, 50 gram protein (10-12% dari total energi), dan 40 gram lemak (>17% dari total energi) per hari (Institute of Medicine (2012), Kemenkes RI (2012), dan UNHCR (2002)).
Faktor yang juga perlu dipertimbangkan dalam pemberian bantuan makanan adalah kebiasaan makan, daya terima, dan ketersediaan. Mempertimbangkan hal tersebut, dipilih bahan pangan lokal berupa ubi ungu, daun kelor, sagu, dan masih banyak superfood (functional food) di Indonesia. Bahan-bahan tersebut mudah didapat dan sudah sering dikonsumsi oleh masyarakat sehingga bukan merupakan hal yang asing.
Penelitian terkait pengembangan pangan darurat sudah dilakukan di beberapa universitas di Indonesia. Namun, belum ada penelitian yang memadukan bahan-bahan pangan lokal sebagai bahan dasar olahan pangan darurat. Mengingat banyak sekali sumber daya lokal yang bisa dijadikan produk pangan bencana di tanah air, maka sudah menjadi tugas bagi generasi muda bersama instansi terkait untuk mengembangkan pangan bencana berbasis sumber daya lokal untuk mengurangi prevalensi penyakit di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H